Tampilkan postingan dengan label tingkah laku hewan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label tingkah laku hewan. Tampilkan semua postingan

Jumat, 22 September 2017

TINGKAH LAKU HEWAN : SOCIAL BEHAVIOR (TINGKAH LAKU SOSIAL)

MAKALAH
TINGKAH LAKU HEWAN
“SOCIAL BEHAVIOR (TINGKAH LAKU SOSIAL)”

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Tingkah Laku Hewan






Oleh:
KELOMPOK 5
1.      Eva Rusdiana          (1202101030XX)
2.      Zakyah                     (120210103086)








PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2015
BAB I
PENDAHULUAN

1.1   Latar Belakang
Perilaku adalah aktivitas suatu organisme akibat adanya suatu stimulus. Dalam mengamati perilaku, kita cenderung untuk menempatkan diri pada organisme yang kita amati, yakni dengan menganggap bahwa organisme tadi melihat dan merasakan seperti kita. Ini adalah antropomorfisme (Y: anthropos = manusia), yaitu interpretasi perilaku organisme lain seperti perilaku manusia. Semakin kita merasa mengenal suatu organisme, semakin kita menafsirkan perilaku tersebut secara antropomorfik.
Seringkali suatu perilaku hewan terjadi karena pengaruh genetis (perilaku bawaan lahir atau innate behavior), dan karena akibat proses belajar atau pengalaman yang dapat disebabkan oleh lingkungan. Pada perkembangan ekologi perilaku terjadi perdebatan antara pendapat yang menyatakan bahwa perilaku yang terdapat pada suatu organisme merupakan pengaruh alami atau karena akibat hasil asuhan  atau pemeliharaan, hal ini merupakan perdebatan yang terus berlangsung. Dari berbagai hasil kajian, diketahui bahwa terjadinya suatu perilaku disebabkan oleh keduanya, yaitu genetis dan lingkungan (proses belajar), sehingga terjadi suatu perkembangan sifat.

1.2   Rumusan Masalah
1.2.1        Apakah yang dimaksud dengan perilaku sosial?
1.2.2        Apakah yang dimaksud dengan perilaku agonistik?
1.2.3        Apakah yang dimaksud dengan perilaku teritori?
1.2.4        Apakah yang dimaksud dengan perilaku alruistik?

1.3   Tujuan
1.3.1        Untuk mengetahui perilaku sosial
1.3.2        Untuk mengetahui perilaku agonistik
1.3.3        Untuk mengetahui perilaku teritori
1.3.4        Untuk mengetahui perilaku alruistik
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Social Behavior (Tingkah Laku Sosial)
Setiap organisme memiliki kemampuan untuk hidup, tumbuh, dan berkembang biak pada habitat yang sesuai dengannya. Salah satu cara untuk  mempertahankan hidupnya adalah dengan mempertahankan perilaku keseharian pada saat musim berbiak. Faktor yang sangat menentukan perilaku ini di antaranya habitat tempat tinggalnya meliputi keamanan dan ketersediaan sumber daya hayati yang dapat mendukung kelestariannya terutama pada saat berbiak, di mana organisme membutuhkan keamanan dan ketersediaan makanan lebih baik dibandingkan pada saat tidak memasuki musim berbiak. Perilaku harian organisme merupakan faktor yang berasal dari hewan itu sendiri. Setiap hewan memiliki karakter perilaku harian yang berbeda sesuai anatomi dan morfologi tubuh yang dimilikinya (Jumilawatyi, 2001).
Perilaku merupakan tindakan atau suatu tingkah laku yang dipengaruhi oleh otot ataupun kelenjar yang berada dibawah kontrol sistem syaraf,dan komunikasi sel dari sel otak menuju system syaraf serta merupakan bentuk respon atau tindakan yang dipengaruhi oleh suatu lingkungan. Apabila disimpulkan, perilaku merupakan sejumlah respon makhluk hidup terhadap rangsangan internal ataupun eksternal lingkungan (Kikkawa, 1974).

2.2 Tingkah Laku Agonistik

Agonistik (dari bahasa Yunani, yang berarti "juara") didefinisikan sebagai perilaku hewan yang dipamerkan selama, kontes pertempuran, serangan, melarikan diri, atau keberadaan  diantara dua hewan. Istilah ini sering digunakan untuk menggambarkan perilaku Betta splenden, perilaku yang ditunjukkan oleh hewan jantan saat mereka bersaing untuk kawin, peluang dengan betina (Sheenan, 2010).

Perilaku agonistik adalah perilaku yang berhubungan dengan konflik, termasuk berkelahi (fighting), melarikan diri (escaping), dan diam (freezing) (Lehner, 1996). Perilaku agonistik meliputi pula beragam ancaman atau perkelahian yang terjadi antar individu dalam suatu populasi (Campbell et al, 2003). Perilaku agonistik berkaitan erat dengan agresivitas, yaitu kecenderungan untuk melakukan serangan atau perkelahian (Scott, 1969). Bentuk-bentuk perilaku tersebut dapat berupa postur tubuh maupun gerakan yang diperlihatkan oleh individu pemenang maupun individu yang kalah dalam kontes perkelahian. Invidu yang aggressive dan mampu menguasai arena perkelahian (teritori) akan memunculkan individu yang kuat (dominan) dan lemah (submissive/ subordinat) (Kikkawa & Thorne, 1974).

Perilaku agonistik merupakan salah satu bentuk konflik yang menunjukkan perilaku atau postur tubuh atau penampilan yang khas (display) yang melibatkan mengancam (threat), perkelahian (fighting), melarikan diri (escaping), dan diam (freezing) antarindividu dalam populasi atau antarpopulasi. Invidu yang aggressive dan mampu menguasai arena perkelahian (teritori) akan memunculkan individu yang kuat (dominan) dan lemah (submissive/ subordinat). Untuk mengetahui perilaku agonistik ini digunakanlah ikan cupang adu sebagai hewan uji. Cupang adu (Betta splendens) merupakan jenis ikan laga; individu jantan dapat sangat agresiv terhadap jantan lainnya dalam sebuah arena bertarung. Dengan adanya akuarium sebagai media bertarung, maka diharapkan dapat dengan mudah diamati perilaku agonistik diantara ikan cupang jantan.

Ikan cupang adu (Betta spendens) merupakan anggota dari famili Anabantidae. Anabantidae merupakan satu-satunya famili yang mencakup seluruh ikan berlabirin.  Betta splendens memiliki tubuh yang lonjong dengan bagian depan sedikit membulat dan memipih pada bagian belakang. Mulutnya dapat disembulkan dengan lubang mulut terletak serong pada bagian depan kepala. Badan dan kepala bersisik kasar. Ikan betina berwarna kusam, tetapi ikan jantan mempunyai warna metalik yang mengkilat. Ikan cupang jantan maupun betina memiliki sisik gurat sisi berjumlah 29-33 keping (Djuhanda, 1981).

Taksonomi ikan cupang adu (Betta spendens) adalah sebagai berikut :
Sirip dorsal terletak lebih ke belakang, memiliki jari-jari keras dan 8-9 jari-jari lunak. Sirip anal panjang dan lebar, dimulai dari belakang anus dan berakhir di belakang dekat pangkal sirip kaudal, memiliki 1-4 jari-jari keras dan 21-24 jari-jari lunak. Ujung sirip anal berbentuk lancip. Sirip perut berukuran kecil, terletak di bawah sirip dada, memiliki 1 jari-jari keras dan 5 jari-jari lunak. Satu dari jari-jari lunak berukuran lebih panjang dari yang lainnya. Sirip dada bentuknya membulat, memiliki 12-13 jari-jari lunak (Djuhanda, 1981). Gambar morfologi dari ikan cupang adu adalah sebagai berikut:
Baik secara instinktif maupun perilaku terlatih, B. splendens memiliki karakteristik respons agresiv. Dalam suhu air kira-kira antara 24-29oC, ikan cupang secara normal merupakan ikan yang berperikau sangat aktif. Beberapa perilku agonistic cupang yang diketahui antara lain :
  • Approach (Ap) : mendekat, berenang cepat kemudian berhenti di dekat bayangannya/ikan lain
  • Bite : menggigit lawan
  • Chase (Ch) : mengejar lawan yang melarikan diri
  • Frontal threat (FT) : mengancam dari depan dengan membuka operculum, dagu direndahkan dan melebarkan sirip dada saat berhadapan dengan lawan
  • Side Threat (ST) : mengancam dari pinggir dengan membuka operculum, dagu direndahkan kea rah lawan dan semua sirip dikembangkan
  • Mouth to mouth contact (MC) : Kontak mulut ke mulut yaitu dua individu akan saling mendorong, menarik, dan mencengkram dengan mulut
  • Flight (Fl) : melarikan diri
  • Tail flagging (TF) : mengibaskan ekor
  • Circle (Cl) : bergerak memutar arah setelah mendekati lawan
  • Explore (Ex) : menjelajah area tanpa arah yang jelas

Invidu yang aggressive dan mampu menguasai arena perkelahian (teritori) akan memunculkan individu yang kuat (dominan) dan lemah (submissive/ subordinat). Populasi untuk mengetahui perilaku agonistik ini digunakanlah ikan cupang adu sebagai hewan uji. Cupang adu (Betta splendens) merupakan jenis ikan laga; individu jantan dapat sangat agresif terhadap jantan lainnya dalam sebuah arena bertarung. Dengan adanya akuarium sebagai media bertarung, maka diharapkan dapat dengan mudah diamati perilaku agonistik diantara ikan cupang jantan perkelahian (Kikkawa, 1974).       
Ikan Betta splendens merupakan ikan yang memiliki banyak bentuk (Polimorphisme), seperti ekor bertipe mahkota crown tail, ekor penuh full tail dan bertipe slayer, dengan sirip panjang dan berwarna-warni. Keindahan bentuk sirip dan warna sangat menentukan nilai estetika dan nilai komersial ikan cupang Betta splendens Menurut Kottelat (1996) mengatakan bahwa penampakan warna pada jenis ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu jenis kelamin, kematangan gonad, genetik dan faktor geografi. Ikan hias Betta splendens disebut juga ikan laga fighting fish atau ikan cupang. Ikan jantan memiliki warna mencolok, sirip panjang dan ukuran tubuh lebih kecil dibanding betinanya. Ikan Betta splendens jantan memiliki nilai komersial tinggi sehingga sangat disukai dan diburu oleh pecinta ikan hias. Salah satu kendala budidayanya adalah untuk mendapatkan ikan jantan cenderung lebih sukar, karena jumlah benih jantan yang diperoleh setiap pemijahan sangat rendah dan kualitasnya tidak sesuai dengan yang diinginkan. Agar produksi benih ikan sesuai dengan kuantitas dan kualitas yang diharapkan, diperlukan informasi dan data tentang aspek biologi reproduksi ikan. Betta splendens atau yang lebih dikenal dengan  nama  ikan cupang. Ikan jantan sangat agresif dan memiliki kebiasaan  saling  menyerang  apabila ditempatkan  dalam satu wadah (Ostrow, 1989).
Baik secara instinktif maupun perilaku terlatih, ikan cupang (Betta splendens) memiliki karakteristik respon agresif. Dalam suhu air kira-kira antara 24-29oC, ikan cupang secara normal merupakan ikan yang berperikau sangat aktif. Terdapat sepuluh perilaku agonistik yang dapat dideskripsikan, yaitu menjelajah (explore), mendekati (approach), bergerak memutar (circle), mengancam dari samping (side threat), mengancam dari depan (frontal threat), mengibaskan ekor (tail flagging), mengejar (chase), kontak mulut (mouth-to mouth contact), menggigit (bite), dan melarikan diri (flight) (Campbell et al., 2003 dan Lehner, 1996).
Betta splendens jantan berjuang untuk mengklaim wilayah, atau untuk melindungi telur mereka atau keturunan dari pesaing jantan lain. Tapi pertempuran fisik selalu didahului oleh tampilan kadang-kadang disebut "flaring". Ketika dirangsang oleh penampilan ikan jantan saingan, seekor Betta splendens jantan akan menunjukkan beberapa jenis secara genetis ditentukan agresif gerakan (pola aksi tetap). Ikan akan mengibaskan sirip nya, bergidik tubuhnya, memperpanjang gill opercula dan membran, dan umumnya akan tampil jauh lebih besar dari ukuran biasanya. Betta splendens tidak mengenali diri mereka dalam cermin, dan akan menunjukan perilaku agresif, mengira refleksi mereka sebagai ikan jantan yang lain (Sheenan, 2010).
Ikan cupang jantan, memiliki sifat daya perhatiannya terhadap ikan cupang betina cukup tinggi. Sinyal yang ditimbulkan saat ikan cupang jantan berhadapan dengan ikan cupang betina, yaitu dengan mengibaskan ekor sirip dengan frekuensi yang cepat (McGregor et al., 2001 ). Keagresifan lain pada ikan cupang ini, dipisahkan menjadi appetitive, kawin dan pasca kawin (Klein, Figler and Peek, 1976). Komponen yang appetitive ini, ditandai dengan perilaku kejenuhan warna tubuh, ereksi penutup overculum, atau insang, orientasi dan gerakan karakteristik (Simpson, 1968). Komponen termasuk menggigit, mengunci rahang antara lawan dan mencolok ekor. Respon yang ditunjukan oleh ikan cupang dari tiap individu, yang berkaitan dengan pembuahan, dapat kita amati dengan uji menggunakan model subjek dalam aquarium yang diberi sekat cermin. Dengan memperhitungkan durasi, dan frekuensi demonstrasi merupakan presiktor dan perkelahian yang nyata (McGregor et al., 2001 ).

2.3 Teritori
2.4 Perilaku Altruisme
Perilaku merupakan bentuk strategi adaptasi bagi keberlangsungan hidup hewan yang meliputi semua gerakan motorik dan semua sensasi yang dialami oleh hewan sebagai respon atas perubahan internal milieu dan lingkungan eksternal (fisik, biotis, sosial). Terdapat beragam jenis perilaku pada hewan. Salah satu bentuk perilaku yang menarik untuk dipelajari adalah perilaku altruisme.
Altruisme merupakan bentuk perilaku yang mengurangi fitness suatu individu sebagai upaya meningkatkan fitness individu lain (Campbell dkk., 2006). Secara umum, perilaku ini dapat berupa suatu tindakan yang justru membahayakan nyawa suatu individu demi menyelamatkan kehidupan individu lain, baik berupa keturunannya, maupun satu koloni yang hidup dengannya.
Altruisme Penguin Emperor (Aptenodytes Fosteri)
Penguin emperor (A. fosteri) merupakan salah satu jenis anggota kelas aves yang tidak dapat terbang. Berikut adalah susunan klasifikasi spesies ini.
Kerajaan                            :    Animalia
Filum                                 :    Chordata
Kelas                                 :    Aves
Infrakelas                          :    Neognathae
Ordo                                 :    Sphenisciformes
Famili                                :    Spheniscidae
Genus                               :    Aptenodytes
Spesies                              :    A. forsteri
(Dewey, 1999)
Penguin emperor hidup di wilayah perairan dingin Antartika (penghuni asli Antartika secara biogeografi). Habitat terestrialnya terbatas di atas lempeng es, landas kontinen dan pulau-pulau sekitar Antartika di 66-78 derajat lintang selatan (Williams, 1995).
Penguin emperor terbiasa berburu makanan di perairan Antartika yang mana masing-masing individu bisa ditemukan berburu hingga mencapai 65 derajat lintang selatan. Spesies ini bertelur secara khusus pada wilayah pesisir hingga 18 km dari garis pantai. Hanya terdapat 2 (dua) koloni kecil yang diketahui melakukan proses tersebut di daratan yang jauh dari pantai. Proses bertelur dan mengerami telur biasa dilakukan di daerah terlindung dimana tebing atau bongkahan es melindungi wilayah tersebut dari angin kencang (Williams, 1995).
Spesies ini bersifat monogami sepanjang suatu masa kawin. Meskipun, sebagian besar individu memiliki pasangan baru di setiap tahun (musim kawin). Sebuah penelitian menunjukkan bahwa hanya 14.6% pasangan terbentuk kembali di musim kawin selanjutnya. Di tahun ketiga, hanya 4.9% pasangan yang bertahan (Williams, 1995).
Film yang digunakan oleh kelompok kami didapatkan dari data film milik Harun Yahya yang berjudul “Altruism in Penguins”. Dalam film ini, kita dapat melihat suatu bentuk altruisme dalam hal parental care sebagai upaya meningkatkan fitness dari offspring (Clutton-Brock dan Gzodfray, 1991). Spesies yang istimewa ini melakukan perjalanan lebih dari 100 km menuju sarang koloni untuk kawin sekitar bulan Maret hingga awal April (musim gugur). Pada bulan Mei hingga Juni awal, terjadi masa bertelur dimana telur berukuran 460-470 gram dikeluarkan oleh induk betina dan diserahkan pada induk jantan untuk dierami (l.k. 64 hari). Induk betina kembali ke laut untuk mencai makanan hingga masa mengerami selesai. Selama masa itu, induk jantan sama sekali tidak memakan apapun (Williams, 1995).
Semua telur diletakkan dan ditetaskan dalam koloni yang sangat kompak. Wilayah penetasan biasanya merupakan wilayah berangin besar dan membekukan (>100 km/jam). Selain itu, telur dierami selama waktu musim dingin dimana temperatur lingkungan jatuh hingga -50oC. karena itu, semua induk jantan harus berkumpul dalam koloni besar membentuk gerombolan padat sehingga telur tetap dapat terjaga temperaturnya. Jika telur sampai terpapar apalagi ditetaskan pada suhu dingin, kematian cepat dapat terjadi pada anakan (Williams, 1995).
Segera setelah musim semi tiba, telur penguin menetas. Selama proses penyesuaian, bayi penguin masih diletakkan di bawah kantung perut, di antara kaki induk jantan selama 45-50 hari. Hal ini dilakukan agar bayi penguin tidak secara langsung terpapar pada suhu rendah. Dalam masa ini, induk jantan memberi makan bayinya dengan cairan mirip susu yang dikeluarkan dari bagian dalam rongga mulut. Pemberian makanan ini berresiko karena induk jantan sendiri pun masih belum melakukan aktivitas makan setelah kurang lebih 4 (empat) bulan.
Di masa ini, induk betina kembali dari laut dan menggantikan peran induk jantan untuk menjaga bayi penguin. Induk jantan kemudian perangkat ke laut untuk berburu, makan dan menyimpan cadangan makanan. Setelah dirasa cukup, induk jantan kembali ke lokasi breeding untuk merawat bayi penguin bersama induk betina.
Bayi penguin biasanya tumbuh cepat dan dapat melampaui 50% berat penguin dewasa. Dengan ukuran yang cukup besar (usia l.k. 150 hari) dan kondisi tubuh yang sudah teradaptasi dengan lingkungannya, bayi penguin dapat memulai perjalanan bersama induk jantan. Sebagian besar penguin akan kembali ke lokasi kawin setelah berusia 4 (empat) tahun. Meskipun begitu, usia kawin pertama biasanya berkisar antara 5-6 tahun pada jantan dan 5 tahun pada betina (Williams, 1995).
Terdapat latar belakang altruisme dalam konteks evolusi. Disini, kita mengenal adanya Selfish genes and Altruistic individuals (Sabini, 1995). Selfish genes cenderung menghasilkan sifat-sifat seperti kompetisi, dominansi dan hirarki dalam suatu koloni. Altruisme justru mengarahkan suatu spesies untuk melakukan pengorbanan meskipun dapat membahayakan nyawa sendiri. Dalam contoh ini adalah induk jantan A. forsteri yang berpuasa selama 4 bulan dan masih memberi makan anaknya dengan cadangan makanan yang ia miliki.
Selain itu, altruisme dapat bertahan jika sifat ini (yang cenderung mengorbankan suatu individu) mampu memberi manfaat yang lebih besar pada kelangsungan jenis. Jika dilihat, terdapat kemungkinan individu yang melakukan perilaku altruisme mengalami kematian dan tidak menurunkan gen tersebut kepada keturunannya karena tidak lolos seleksi alam. Namun, nampaknya gen altruisme lebih dipengaruhi oleh seleksi alam yang terjadi pada skala gen, bukan organisme sehingga menghasilkan inclusive fitness (Hamilton, 1964 dalam Sabini, 1995).
Secara umum, bentuk altruisme pada penguin emperor berlaku pada:
  1. Tahap pra-fertilisasi (provisioning dan perlindungan oleh induk betina).
  2. Tahap pra-tetas (provisioning oleh induk betina, perlindungan oleh induk jantan).
  3. Tahap pra-dewasa atau tahap fledging (provisioning dan perlindungan oleh kedua induk).
Aktivitas altruisme ini dipengaruhi oleh hormon oksitosin yang merupakan suatu hormon mamalia dan neurotransmiter yang diketahui berhubungan dengan perilaku maternal dan ikatan, juga modulasi kepercayaan sosial. Secara metabolis yang langsung berhubungan dengan proses puasa induk jantan, diketahui bahwa mekanisme puasa dipertahankan dengan cara mengurangi tingkat metabolisme, menguragi pemanfaatan protein dan pemakaian cadangan lemak.
Berdasarkan pemaparan tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa altruisme pada Aptenodytes forsteri berlaku sebagai bentuk parental care dan merupakan perilaku yang alami dan inheren. Perilaku ini memiliki latar belakang evolusi berupa pewarisan gen altruisme yang dipertahankan melalui seleksi pada tingkat gen karena meskipun altruisme cenderung merugikan dan membahayakan nyawa suatu individu, altruisme memberikan manfaat yang lebih besar pada kelestarian jenis ini. Seperti halnya bentuk perilaku yang lain, perilaku altruisme (pada A. forsteri) melibatkan proses fisiologis dan psikologis hewan yang bersangkutan.





DAFTAR PUSTAKA


Afandi, R. & Tang, U.M. 2000. Biologi Reproduksi Ikan. Laporan. Pekanbaru: Pusat Penelitian Kawasan Pantai dan Perairan
Campbell, N. A., Reece J.B, Mitchell LG.dkk. 2003. Biologi .Jilid 2. Erlangga. Jakarta.
Campbell, Neil, Jane B. Reece dan Lawrence G. Mitchell. 2004. Biologi. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Clutton-Brock, Tim dan Charles Godfray. 1991. “Parental Investment” dalam Behavioral Ecology: An Evolutionary Approach. Oxford: Blackwell Scientific Publications.
Dewey, Tanya. 1999. “Aptenodytes forsteri” (On-line), Animal Diversity Web. Accessed February 18, 2010 at http://animaldiversity.ummz.umich.edu/site/accounts/information/Aptenodytes_forsteri.html.
Djuanda, T. 2002. Dunia Ikan. Penerbit Armico. Bandung   
Efendi, M.I. 1997. Biologi Perikanan. Bogor: Yayasan Pustaka Nusantara
Gouveia, A., Caio M. de Oliveira, Cynthia F. R., Thiago M de Brito, Dora F.V. 2007. Effects Trophic Poisoning With Methylmercury On The Appetitive Elements Of The Agonistic Sequence In Fighting-Fish (Betta Splendens). Spanish Journal of Psychology. Vol 10: 436-448.
Jumilawaty, 2001. Perilaku Harian Pecuk Hitam (Phalacrocorax sulcirostis) Saat Musim Berbiak Di Suaka Margasatwa Pulau Rambut Jakarta. Jurnal Biologi Sumatera. Padang Bulan, Medan. Vol. 1, No. 1. , hlm. 20 – 23
Kikkawa, J. & M. J. Thorne. 1974. The Behaviour of Animals. John Murray (Publishers) LTD. London.
Klein, R.M., Figler, M.H., & Peeke, H.V.S. 1976. Modification of consummatory (attack) behavior resulting from pior habituation of appetitive (threat) components of the agonistic sequence in male Betta splendens (Pisces, Belontiidae). Animal Behaviour. Vol 58: 1-25.
Kottelat, Whitten, J.A., Wirjoatmodjo, S. & Kartikasari.1996. Freshwater Fishes of Western Indonesia and Sulawesi. Periplus. Jakarta.
Linke, H . 1994. Eksplorasi Ikan Cupang di Kalirnantan. Trubus. No.297. Agustus. hal 86-89.
Mc Gregor P. K., Tom M.P & Helene M.L. 2001. Fighting Fish Betta splendens Extract Relative Information From Apparent Interactions: What Happens When What You See Is Not What You Get. Animal Behaviour. Vol 62: 1059-1065.
Ostrow, M.E. 1989. Bettas.T.F.H. Publications Inc. United State.
Perkasa, B.E. 2001. Budidaya Cupang Hias dan Adu. Jakarta: Penebar Swadaya
Sabini, John. 1995. Social Psychology. New York: Norton & Company, Inc.
Sanford, G. 1995. An Illustrated Encylopedia of Aquarium fish. Apple Press. London. hal 68.
Scott, J.P. 1969. Introduction to Animal Behaviour. In : The Behaviour of  Domestic Animals. E.S.E. Hafez (ed). The Williams & Wilkins Co. Baltimore, USA. p 31-21.
Sheenan, F. 2010. Betta Behavior. Available at http://www.bettatalk.com/betta_behavior.htm
Sugandy, I. 2002. Budidaya Cupang Hias. Jakarta: Argo Media Pustaka.
Susanto, H. & Lingga, P. 1997. Ikan Hias Air Tawar. Penebar Swadaya. Jakarta.
Williams, T. 1995. The Penguins. Oxford: Oxford University Press.


TINGKAH LAKU HEWAN : PERILAKU AKIBAT REFLEKSI EVOLUSI

 





PERILAKU AKIBAT REFLEKSI EVOLUSI
disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Tingkah Laku Hewan



                                               



                  Oleh :

Arma Desy F. (120210103018)
                                                 Mega Dwi P.               (120210103085)
Kelompok 4





PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI
JURUSAN PENDIDIKAN MIPA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2015
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Semua organisme memiliki perilaku. Perilaku merupakan bentuk respons terhadap kondisi internal dan eksternalnya. Suatu respons dikatakan perilaku bila respons tersebut telah berpola, yakni memberikan respons tertentu yang sama terhadap stimulus tertentu. Perilaku juga dapat diartikan sebagai aktivitas suatu organisme akibat adanya suatu stimulus. Dalam mengamati perilaku, kita cenderung untuk menempatkan diri pada organisme yang kita amati, yakni dengan menganggap bahwa organisme tadi melihat dan merasakan seperti kita. Reseptor diperlukan untuk mendeteksi stimulus itu, saraf diperlukan untuk mengkoordinasikan respons, efektor itulah yang sebenarnya melaksanakan aksi. Perilaku dapat juga disebabkan stimulus dari dalam. Hewan yang merasa lapar akan mencari makanan sehingga hilanglah laparnya setelah memperoleh makanan. Lebih sering terjadi, perilaku suatu organisme merupakan akibat gabungan stimulus dari luar dan dari dalam. Jadi, berdasarkan pernyataan di atas hubungan timbal balik antara stimulus dan respons yang terjadi pada organisme merupakan sebagian studi mengenai perilaku. Studi lainnya menyangkut masalah pertumbuhan dan mekanisme evolusioner dari organisme dan sekaligus evolusi perilakunya.
Semakin kita merasa mengenal suatu organisme, semakin kita menafsirkan perilaku tersebut secara antropomorfik. Seringkali suatu perilaku hewan terjadi karena pengaruh genetis (perilaku bawaan lahir atau innate behavior), dan karena akibat proses belajar atau pengalaman yang dapat disebabkan oleh lingkungan. Pada perkembangan ekologi perilaku terjadi perdebatan antara pendapat yang menyatakan bahwa perilaku yang terdapat pada suatu organisme merupakan pengaruh alami atau karena akibat hasil asuhan  atau pemeliharaan, hal ini merupakan perdebatan yang terus berlangsung. Dari berbagai hasil kajian, diketahui bahwa terjadinya suatu perilaku disebabkan oleh keduanya, yaitu genetis dan lingkungan (proses belajar), sehingga terjadi suatu perkembangan sifat.

1.2 Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud perilaku akibat refleksi evolusi?
2.      Apa yang dimaksud ritme biologi?
3.      Apa saja macam-macam mekanisme bergerak pada hewan?
4.      Bagaimana komunikasi pada hewan?

1.3  Tujuan
1.      Dapat mengetahui pengetian perilaku akibat refleksi evolusi.
2.      Dapat mengetahui pengetian ritme biologi.
3.      Dapat mengetahui macam-macam mekanisme bergerak pada hewan.
4.      Dapat mengetahui komunikasi pada hewan.
















BAB 2. PEMBAHASAN

2.1 Perilaku Akibat Refleksi Evolusi
Perilaku adalah suatu adaptasi evolusi yang menyebabkan terjadinya suatu peningkatan kehidupan dan kesuksesan reproduksi serta kebugaran. Walau demikian, perilaku juga merupakan suatu hasil pengaturan dari hewan terhadap lingkungan dengan cara seleksi alam.
Perilaku memperlihatkan suatu kisaran variasi fenotipik yang bergantung pada lingkungan, di mana genotype itu diekspresikan. Namun demikian, terdapat suatu norma reaksi. Perilaku dapat diubah oleh pengalaman dilingkungan. Faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi perilaku adalah semua kondisi mana gen yang mendasari perilaku itu diekspresikan. Hal ini meliputi lingkungan kimiawi di dalam sel, dan juga semua kondisi hormonal dan kondisi kimiawi dan fisik yang dialami ole seekor hewan yang sedang berkembang di dalam sebuah sel telur atau didalam rahim. Perilaku juga meliputi interaksi beberapa komponen sistem saraf hewandengan efektor, dan juga berbagai interaksi kimia,penglihatan,pendengaran,atau sentuhandengan organisme lain. Adalah tidak tepat untuk mengatakan bahwa setiap perilakuhanya semata-mata disebabkan oleh gen. Semua gen, termasuk gen-gen yang ekspresinya mendasari perilaku bawaan, memerlukan suatu lingkungan untuk diekspresikan (Campbell, 2004).
2.2 Ritme Biologi
Banyak jenis hewan mamalia seperti kelelawar, harimau dan bangsa kucing kurang aktif pada siang hari dan makan saat matahari tenggelam atau aktif malam hari. Akan tetapi, banyak jenis burung tidur pada malam hari dan banyak melakukan aktivitas pada siang hari. Pola hidup yang berulang-ulang setiap hari, seperti siklus tidur atau bangun pada makhluk hidup disebut Ritme Sikardian (Cycardian Rythms). Pada tanaman dan juga makhluk hidup lainnya, ritme biologi dikatakan juga dengan istilah Jam Biologi. Penyebab eksternal, khususnya siklus cahaya dapat mengatur waktu, membuat tubuh memiliki koordinasi ritme dengan ketat. Selain factor lamanya organisme didedahkan pada periode terang gelap tertentu, temperature juga berperan dalam ritme biologi.
Kepentingan mempelajari ritme biologi, waktu dan petunjuk serta faktor yang menyebabkannya sudah banyak dilakukan peneliti karena erat kaitannya dengan waktu kerja efisien, serta kemampuan dalam berfikir serta dalam membuat keputusan. Para pekerja malam, atau mereka yang melakukan perjalanan dengan pesawat terbang dari satu benua kebenua lain yang melintasi beberapa zona waktu yang berbeda, dapat menyebabkan keletihan, hingga mengurangi kemampuan bekerja, bahlan dapat menyebabkan depresi. Hal tersebut disebabkan oleh adanya gangguan pada ritme biologi internal ( Maksun, 2005).
Ritme biologis dapat terjadi dengan:
1.      Internal ( endogen ) - dikendalikan oleh internal biologis jam misalnya tubuh siklus suhu
2.      Eksternal ( eksogen ) - dikendalikan oleh sinkronisasi siklus internal rangsangan eksternal, misalnya tidur atau terjaga dan hari malam. Rangsangan ini disebut zeitgebers dari Jerman berarti "waktu pemberi ". Rangsangan ini termasuk isyarat waktu lingkungan seperti sinar matahari ,makanan ,kebisingan ,atau interaksi sosial. Zeitgebers membantu untuk mengatur ulang jam biologis untuk 24 jam sehari .
Ritme bilogis terdiri dari :
·         Ritme sirkadian, Endogen dihasilkan irama dengan periode dekat dengan 24 jam .
·         Ritme diurnal, Ritme sirkadian yang disinkronkan dengan siklus siang / malam. 
·         Ritme ultradian , Ritme biologis ( misalnya makan siklus ) dengan jangka waktu yang lebih pendek ( yaitu, frekuensi yang lebih lebih tinggi) dibandingkan dengan ritme sirkadian .
·         Ritme Infradian , Ritme biologis dengan siklus lebih dari 24 jam ( misalnya siklus menstruasi manusia) .
Naked mole rate
2.3 Mekanisme Bergerak
Hewan dan tumbuhan atau organ dari suatu organisme tersebut memiliki cara khusus saat melakukan pergerakan. Telah dikehaui bahwa terjadinya pergerakan khusus karena adanya aksi atau stimulus sehingga suatu organisme bergerak, yaitu:
·         Kinetis
Kinetis adalah suatu perubahan acak (random) da     lam kecepatan dan atau arah dari suatu organisme sebagai respons terhadap stimulus. Misalnya adanya pergerakan karena terjadinya kondisi lingkungan yang tidak sesuai. Seperti beberapa kumbang yang sangat aktif di daerah kering dan kurang aktif di daerah lembab.
·         Taksis
Taksis sangat spesifik, berhubungan langsung sebagai akibat adanya suatu stimulus. Pergerakan organisme (keseluruhan) dapat kea rah stimulus maupun menjauhi stimulus. Misalnya larva lalat rumah akan bergerak menjauhi arah cahaya (fototaksis negative), perilaku ini kemungkinan terjadi karena larva tersebut dapat berlindung dari musuh alaminya. Banyak tumbuhan melakukan pergerakan ini karena adanya stimulus cahaya (foto), arus (rheo), angin, gravitasi, air dan lain-lain.
·         Kelompok (Group)
Pergerakan secara berkelompok yang terjadi pada banyak hewan dikenal dengan istilah migrasi. Hal ini, biasanya dipengaruhi oleh adanya perubahan cuaca atau musim, dan lebih khusus lagi perilaku ini berpengaruh untuk mendapatkan sumber makanan, daerah atau tempat untuk kawin, dan lain-lain.
Migrasi banyak terjadi pada berbagai jenis burung, serangga, seperti beberapa jenis kupu-kupu, berbagai jenis ikan dan mamalia lain. Pada dasarnya hewan melakukan migrasi karena telah mengenali daerah perjalanan mereka, dan hal ini dilakukan dengan adnya “piloting”, orientasi dan navigasi. Hewan dapat melakukan migrasi dengan adanya pengenalan suatu cara di atas atau kombinasi dari ketiganya ( Maksun, 2005).

2.4 Komunikasi
Komunikasi hewan adalah semua perpindahan informasi pada bagian dari salah satu hewan yang memiliki efek pada perilaku sekarang atau masa depan dari hewan lainnya. Komunikasi pada umumnya terjadi diantara sesama spesies, misalnya untuk mengenali pasangan kawin. Pada hewan-hewan social komunikasi dilakukan sebagai salah satu cara untuk mengetahui koloninya .Komunikasi dapat pula terjadi untuk menghndari bahaya, dapat terjadi melalui perantara senyawa kimia menggunakan Feromon, yaitu senyawa kimia yang disekresikan keluar tubuh organisme dan dapat dikenali (melalui bau, dimakan, dan lain-lain) oleh sesama spesies dan akan berguna untuk berbagai kehidupannya, misalnya untuk kawin, tempat berkumpul (agregasi), menemukan makanan, mengenali koloni, adanya bahaya, dan lain-lain ( Santrock, 2002).
Selain itu, komunikasi juga terjadi secara visual, hal ini banyak terjadi pada saat sesama spesies mengenali pasangan kawinnya atau saat mempertahankan daerah teritori. Komunikasi dengan suara (auditory communication) sangat banyak dilakukan oleh hewan, misalnya untuk mengetahui derah teritori, untuk mengenali sesame spesies dan digunakan untuk mengetahui sumber makanan dan untuk melakukan perkawinan, hingga untuk menginformasikan adanya bahaya. Sebagai contoh yang telah banyak ditelaah adalah adanya suatu hipotesis tarian lebah sebagai alat komunikasi untuk mengetahui sumber makanan ( Santrock, 2002 ).
Bentuk-bentuk komunikasi pada hewan, yaitu :
a.      Visual, berupa:
1.      Gerak Isyarat
Bentuk komunikasi terbaik yang diketahui mengikutkan menampilkan bagian tubuh khusus atau pergerakan tubuh tertentu terkadang hal ini terjadi dengan kombinasi, sehingga sebuah aksi pergerakan tertentu untuk memperlihatkan atau menekankan suatu bagian tubuh tertentu. Sebagai contohnya, presentasi dari paruh induk camar herring memberikan sinyal memberi makanan kepada anak-anaknya. Seperti kebanyakan burung camar, burung camar herring memiliki sebuah paruh berwarna cerah, kuning dengan tanda merah pada bagian rahang bawah dekat ujung paruh. Saat mereka kembali ke sarang dengan makanan, si induk berdiri dekat anak mereka dan membuka paruh ke bawah di hadapan si anak; hal ini memperoleh respon memohon dari anak yang lapar (mematuk pada tanda merah), yang menstimulasi si induk untuk memuntahkan makanan di depannya. Sinyal yang komplit mengikutkan fitur morfologikal khusus (bagian tubuh), tanda merah pada paruh, dan sebuah pergerakan khusus (membuka ke arah dasar permukaan) yang membuat tanda merah sangat terlihat oleh si anak. Bila semua primata menggunakan beberapa bentuk gerak isyarat, Frans de Waal mengambil kesimpulan bahwa kera dan manusia adalah unik karena hanya merekalah yang dapat menggunakan gerak isyarat intensional untuk berkomunikasi. Ia melakukan uji coba tentang hipotesis dari gerak-isyarat yang berkembang menjadi bahasa dengan mempelajari gerak isyarat bonobo dan simpanse. Contoh pada anjiang:
1.    Bisa didekati dengan santai

foto
Ciri:
- Telinga naik (tidak ke depan)
- Posisi kepala tinggi
- Mulut terbuka sedikit, lidah menjulur
- Berdiri santai, berat rata bertumpu pada kaki
- Ekor turun dan rileks

Dalam kondisi ini, anjing sedang cukup santai dan tenang. Seperti anjing yang tidak peduli dan tidak merasa terancam oleh kegiatan yang terjadi di lingkungan sekitarnya dan biasanya mudah didekati.

2. Waspada - ingin memeriksa keadaan

foto
Ciri:
- Telinga maju ke depan (kadang telinganya bisa berkedut untuk mencoba menangkap suara)
- Mata membesar
- Hidung dan dahi halus (tidak ada kerutan)
- Mulut menutup
- Berdiri agak menjinjit dan tubuhnya sedikit condong ke depan
- Ekor horizontal dan mungkin bergerak sedikit dari samping ke samping (tidak kaku dan bulu ekornya tidak berdiri/tegak) 

Jika anjing telah mendeteksi sesuatu yang menarik atau sesuatu yang tidak dikenali, maka ia akan memperlihatkan bahasa tubuh diatas yang menyatakan ia sedang waspada dan memperhatikan sambil memeriksa situasi, untuk menentukan apakah ada ancaman atau perlu mengambil suatu tindakan.

3. Sikap agresif dominan

foto
Ciri:
- Telinga maju ke depan
- Dahi mengkerut vertikal
- Hidung mengkerut
- Bibir mengkerut 
- Gigi menyeringai dan bahkan seringkali gusi terlihat
- Mulut terbuka dan ujung mulut membentuk "C"
- Berdiri kaku, tubuh agak condong ke depan
- Ekor tegak ke atas, bulunya tegak dan kaku namun terlihat sedikit bergetar
- Hackles (rambut pada bagian atas bahu dan pantat) tegak

Ini adalah sikap anjing yang sangat dominan dan percaya diri. Di sini, ia tidak hanya memperlihatkan sikap dominan namun juga berbahaya karena ia bisa bertindak agresif jika ditantang.

4. Ketakutan dan Agresif

foto
Ciri:
- Telinga ke belakang
- Pupil mata melebar
- Hidung berkerut
- Bibir agak berkerut (ada beberapa gigi yang mungkin terlihat)
- Ujung mulut ditarik ke belakang
- Tubuh merendah
- Ekor diselipkan diantara ke dua kaki ( sedikit atau tanpa bergerak)
- Hackles tegak

Anjing ini ketakutan namun tidak bersikap tunduk dan mungkin bisa menyerang jika ditekan. Anjing akan memberikan sinyal-sinyal ini ketika ia dihadapkan langsung dengan sesuatu yang mengancamnya.

5. Stres dan Tertekan

foto
Ciri:
- Telinga ke belakang
- Pupil mata melebar
- Ujung mulut ditarik ke belakang dengan terengah-engah
- Tapak kaki berkeringat
- Tubuh merendah
- Ekor turun

Anjing ini berada di bawah tekanan baik sosial atau lingkungan. Tanda-tanda di atas, secara umum menandakan kondisi pikirannya dan tidak secara khusus ditujukan kepada individual lainnya.

6. Ketakutan dan Khawatir

foto
Ciri:
- Telinga ke belakang
- Dahi halus (tidak berkerut)
- Kontak mata singkat dan tidak langsung
- Menjilati wajah anjing yang dominan
- Ujung mulut ke belakang
- Salah satu telapak kaki dinaikan
- Kadang meninggalkan jejak kaki yang berkeringat
- Tubuh merendah
- Ekor turun (agak dikibaskan sedikit)

Anjing ini agak sedikit ketakutan dan menunjukkan tanda-tanda tanda kepatuhan. Tanda-tanda ini dikeluarkan untuk menenangkan individu yang status sosialnya lebih tinggi atau dengan anjing mempunyai potensi yang sedang mengancam, untuk menghindari tantangan lanjutan dan mencegah terjadinya konflik.

7. Ketakutan Ekstrim - Kepatuhan Penuh

foto
Ciri:
- Telinga ke belakang dan datar
- Kepala diturunkan untuk menghindari kontak mata langsung
- Mata setengah menutup
- Hidung dan dahi halus (tidak berkerut)
- Ujung mulut ke belakang menutup
- Berbaring sampai perut dan tenggorokan menghadap atas
- Ekor diselipkan
- Kadang bisa mengeluarkan urin. Anjing ini menunjukkan penyerahan total dan tanda kepatuhan. Dia mencoba untuk mengatakan bahwa ia menerima statusnya lebih rendah dengan merendahkan diri di hadapan anjing lain yang status sosialnya lebih tinggi atau individu yang mengancam, dengan harapan untuk menghindari pertarungan fisik.

8. Sikap Riang / Senang

foto
Ciri:
- Telinga naik
- Pupil mata melebar
- Mulut terbuka dan telinga menjulur keluar
- Kedua kaki depan membengkok direndahkan
- Ekor naik dan dikibaskan
- Anjing biasanya bertahan pada posisi ini sesaat sebelum lari ke arah yang acak
Di sini kita melihat adanya ajakan untuk bermain. Tanda ini bisa disertai dengan gonggongan gembira atau serangan main-main dan tanda seperti sedang menyerah. Tanda diatas ini digunakan sebagai semacam "tanda baca" untuk menunjukkan bahwa setiap perilaku kasar yang dilakukan sebelumnya tidak dimaksudkan sebagai ancaman atau tantangan, hanya sekedar bercanda.
2.      Ekspresi wajah
Isyarat wajah memainkan peran peting dalam komunikasi hewan. Anjing sebagai contohnya mengekspresikan marah lewat menyeringai dan memperlihatkan giginya. Saat cemas telinga mereka akan tegak. Saat takut seekor anjing akan menarik telinga mereka ke belakang, memperlihatkan sedikit gigi dan menyipitkan matanya. Jeffrey Mogil mempelajari ekspresi wajah tikus dengan menaikan tingkat kesakitan. Yang mereka temukan adalah lima ekspresi wajah yang dapat dikenali; pengencangan orbital, mengembangnya hidung dan dagu, dan perubahan pada pembawaan telinga dan kumis.
3.      Tatapan mengikuti
Koordinasi di antara hewan-hewan sosial dibantu dengan memonitor orientasi kepala dan mata satu sama lain. Telah lama diketahui dalam penelitian perkembangan manusia sebagai suatu komponen penting dari komunikasi, baru-baru ini mulai lebih banyak atensi pada kemampuan hewan untuk mengikuti tatapan dari hewan lain yang berinteraksi dengan mereka, baik itu anggota dari spesies mereka sendiri atau manusia. Penelitian telah dilakukan pada kera, monyet, anjing, burung, dan kura-kura, dan berfokus pada dua kerja berbeda: "menatap mengikuti yang lain menjarak menjauh" dan "menatap mengikuti yang lain secara geometris di sekitar penghalang pandangan misalnya dengan mengubah posisi mereka sendiri untuk mengikuti yang diperhatikan saat pandangan mereka ditutup oleh suatu penghalang".
Kemampuan pertama telah ditemukan di antara sejumlah besar hewan, sementara yang kedua yang didemonstrasikan oleh kera, anjing, serigala, dan  gagak, dan percobaan untuk mendemonstrasikan "tatapan mengikuti geometris" pada marmoset dan ibis memberikan hasil negatif.  Para peneliti belum memiliki gambaran jelas tentang dasar kognitif dari kemampuan mengikuti tatapan, namun bukti perkembangan mengindikasikan bahwa mengikuti tatapan sederhana dan mengikuti tatapan geometris kemungkinan bergantung pada fondasi kognitif yang berbeda.
4.      Tontonan visual aktif
Beberapa cephalopod, seperti oktopus dan cumi, memiliki sel kulit khusus (chromatophores) yang bisa mengubah warna, opasitas, dan refleksi kulit mereka. Selain digunakan sebagai kamuflase, perubahan cepat pada warna kulit juga digunakan saat berburu dan pada ritual perkawinan. Perubahan warna pada cumi bisa secara khusus mengindikasi bahwa mereka mampu mengkomunikasikan dua sinyal yang berbeda secara bersamaan dari dua sisi tubuh mereka yang berlawanan. Saat cumi jantan mengawini betina pada saat adanya jantan yang lain, dia memperlihatkan dua sisi berbeda pola jantan menghadap ke betina, dan pola betina menghadap ke arah sebaliknya, untuk menipu pejantan lainnya.
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhSW-396njJe3RtG7mM1DJ12LqvWuBhIdvBWFSckQiAjvyzSnuWH1Pn5-571I2ScIbj89znFvMlMsv1QsZck-0GRy0ZSEuDSZ1hQQ8fYOX3gAtYrxEwbuJKd9VXW7YCjDXWhpHNYUr4En8/s1600/11084577_957438517602313_499209853_n.jpg
5.      Tontonan visual pasif
Banyak hewan mengkomunikasikan informasi tentang diri mereka tanpa perlu mengubah perilaku mereka. Sebagai contohnya, dimorfisme seksual pada ukuran atau pelage mengkomunikasikan jenis seks dari hewan. Sinyal pasif lainnya bisa siklis secara alami. Sebagai contohnya, pada babun olive, permulaan dari ovulasi pada betina adalah suatu sinyal bagi pejantan bahwa dia siap untuk dikawinkan. Selama ovulasi, wilayah kulit pada anogenital (dubur kelamin) betina membesar dan berwarna merah/merah jambu cerah.
File:Male Olive Baboon.jpg
6.      Komunikasi bioluminesensi. 
Cara komunikasi dengan menghasilkan cahaya terjadi umumnya pada vertebrata dan invertebrata laut, biasanya di kedalaman (misalnya ikan pemancing). Dua bentuk terkenal dari bioluminesensi darat adalah kunang-kunang dan cacing kilau. Serangga lainnya, larva serangga, annelid, arachnid dan bahkan spesiesjamur memiliki kemampuan bioluminesensi. Beberapa hewan bioluminesensi menghasilkan cahaya dari diri sendiri sementara yang lainnya memiliki hubungan simbiotik dengan bakteri bioluminesensi.
7.      Komunikasi intraspesies dan Interspesies
Pengirim dan penerima dari suatu komunikasi bisa saja dari spesies yang sama atau berbeda. Mayoritas komunikasi hewan adalah intraspesifik (antara dua atau lebih individu dari spesies yang sama). Namun, ada beberapa kejadian penting pada komunikasi interspesifik. Juga, kemungkinan dari komunikasi interspesifik, dan bentuk yang digunakan, adalah suatu pengujian penting dari model-model teoritis dari komunikasi hewan.
8.      Komunikasi intraspesies
Mayoritas dari komunikasi hewan terjadi antara suatu spesies, dan ini adalah konteks yang paling intensif diteliti. Kebanyakan bentuk dan fungsi komunikasi yang dijelaskan di atas berkaitan dengan komunikasi intraspesies.
http://mikail-tq85.sttbt.web.id/_sepakbola/_baca_image.php?td=5&kodegb=220px-Sniffing_fur.jpg
Seekor domba muda menginvestigasi seekor kelinci, sebuah contoh dari komunikasi antarspesifik lewat bahasa tubuh dan bau.
9.      Pemangsa ke mangsa
Beberapa pemangsa berkomunikasi ke mangsa dengan suatu cara yang mengubah perilaku mereka dan membuat penangkapan lebih mudah, sebagai efek menipu mereka. Contoh yang terkenal yaitu Ikan angler, yang memiliki tonjolan gemuk bioluminisensi yang tumbuh dikeningnya dan teruntai di depan mulut mereka; ikan kecil mencoba mengambil umpan tersebut, dan karena melakukan hal tersebut secara sempurna menempatkan mereka untuk dimakan oleh ikan angler.
https://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/1/1b/Humpback_anglerfish.png/250px-Humpback_anglerfish.pnghttp://ejippo.fi/images/747.jpg 
Ikan angle
b.      Suara
Kebanyakan hewan berkomunikasi lewat vokalisasi. Komunikasi lewat vokalisasi adalah esensial bagi banyak pekerjaan termasuk ritual-ritual perkawinan, teriakan peringatan, menyampaikan lokasi dari sumber makanan, dan pembelajaran sosial. Teriakan kawin jantan digunakan untuk memberikan sinyal pada betina dan untuk mengalahkan saingan pada spesies seperti kelelawar kepala palu, rusa merah, paus humpback dan gajah segel. Pada spesies paus, nyanyian paus telah ditemukan memiliki dialek berbeda berdasarkan lokasi. Bentuk lain komunikasi termasuk tangisan peringatan dari  teriakan wilayah pada gibbon, penggunaan frekuensi pada Kelelawar hidung-tanduk untuk membedakan antar grup.
c.       Penciuman
Banyak mamalia, secara khusus memiliki kelenjar yang menghasilkan bau yang berbeda dan tahan-lama, dan memiliki perilaku yang berhubungan dengan meninggalkan bau tersebut pada tempat-tempat yang telah mereka singgahi. Terkadang subtansi bau diperkenalkan lewat air kencing atau tinja. Terkadang ia didistribusikan lewat keringat, walau ini tidak meninggalkan tanda semi-permanen seperti halnya bau yang di simpan permukaan dasar. Beberapa hewan memiliki kelenjar pada tubuh mereka yang fungsi keseluruhannya tampak untuk menyimpan tanda-tanda bau, sebagai contohnya gerbil mongolian memiliki sebuah kelenjar bau di perut mereka, dan sebuah karakteristik aksi menggosok-gosokan ventral yang menyimpan bau dari situ. Hamster Golden dan kucingmemiliki kelenjar bau pada panggul mereka, dan menyimpan bau tersebut dengan menggosokan bagian sisi mereka terhadap objek, kucing juga memiliki kelenjar bau pada jidat mereka. Lebah membawa sekantong material dari sarang yang mereka lepaskan saat memasuki sarang kembali, bau yang menandakan bahwa mereka merupakan bagian dari sarang tersebut dan menjamin keselamatan mereka saat masuk. Semut-semut menggunakan feromon untuk membuat bau jejak ke makanan sebagaimana halnya untuk peringatan, atraksi perkawinan dan untuk membedakan antar koloni. Sebagai tambahan, mereka memiliki feromon yang digunakan untuk membingungkan musuh dan memanipulasi mereka sehingga berkelahi satu sama lain.
d.      Listrik
Suatu bentuk komunikasi hewan yang jarang terjadi adalah elektrokomunikasi. Ia terlihat umumnya pada makhluk hidup air, beberapa mamalia, terutama platipus dan echidna mampu melakukan resepsielektro dan ini secara teori merupakan elektrokomunikasi.
e.       Seismik
Terkadang disebut komunikasi vibrasi, merupakan penyampaian informasi lewat vibrasi seismik dari suatu media. Media tersebut bisa bumi, akar atau daun tanaman, permukaan air, jaring laba-laba, sarang madu, atau berbagai tipe media tanah. Komunikasi vibrasi adalah modalitas sensor purba dan ia tersebar dalam kerajaan hewan dan ia telah berkembang beberapa kali secara independen. Ia telah ditemukan pada mamalia, burung, reptil, amfibi, serangga, laba-laba, krustasea dan cacing nematoda. Vibrasi dan kanal komunikasi lainnya tidak harus berdiri sendiri, tapi dapat digunakan dalam komunikasi multi-dasar.

Aspek-aspek lain dari komunikasi hewan
Evolusi dari komunikasi
            Pentingnya berkomunikasi adalah bukti dari elaborasi morfologi sangat tinggi, perilaku dan fisiologi yang beberapa hewan miliki telah berevolusi untuk memfasilitasi ini. Mereka mengikutkan beberapa struktur paling menyolok dalam kerajaan hewan, seperti ekor Burung merak, tanduk pada Rusa, dan jumbai pada Kadal berleher jumbai, tapi bahkan juga mengikutkan noda merah pada paruh camar herring eropa. Perilaku elaborasi tinggi telah berevolusi untuk komunikasi seperti tarian dari bangau, perubahan pola pada gurita, dan pengumpulan dan penataan benda-benda pada Burung Bower. Bukti lain bagi pentingnya komunikasi pada hewan adalah prioritas dari fitur-fitur fisiologis pada fungsi tersebut, sebagai contohnya, kicau burung tampak memiliki struktur otak yang keseluruhan ditujukan untuk memproduksinya. Semua adaptasi tersebut membutuhkan penjelasan secara evolusioner.







BAB 3. PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1.      Perilaku juga merupakan suatu hasil pengaturan dari hewan terhadap lingkungan dengan cara seleksi alam.
2.      Ritme biologi adalah pola hidup yang berulang-ulang setiap hari, seperti siklus tidur atau bangun pada makhluk hidup .
3.      Mekanisme bergerak ada 3, yaitu:
·         Kinetis
Kinetis adalah suatu perubahan acak (random) dalam kecepatan dan atau arah dari suatu organisme sebagai respons terhadap stimulus.
·         Taksis
Taksis sangat spesifik, berhubungan langsung sebagai akibat adanya suatu stimulus. Pergerakan organisme (keseluruhan) dapat kea rah stimulus maupun menjauhi stimulus.
·         Kelompok (Group)
Pergerakan secara berkelompok yang terjadi pada banyak hewan dikenal dengan istilah migrasi.
4.      Komunikasi hewan adalah semua perpindahan informasi pada bagian dari salah satu hewan yang memiliki efek pada perilaku sekarang atau masa depan dari hewan lainnya.











DAFTAR PUSTAKA


Campbell, Neil A. dkk.2004. Biologi Jilid III(ed.5). Jakarta : Erlangga
Maksun. 2005. Determinan Perilaku. http://matsum.blogspot.com/2008/05/determinan-perilaku.html ( Diakses Pada 27 September 2015)
Santrock, John W. 2002. Life-Span Development. Dallas.:  University of Texas