MAKALAH
TINGKAH LAKU HEWAN
“SOCIAL
BEHAVIOR (TINGKAH LAKU SOSIAL)”
Disusun guna memenuhi tugas
mata kuliah Tingkah Laku Hewan
Oleh:
KELOMPOK 5
1.
Eva Rusdiana (1202101030XX)
2.
Zakyah (120210103086)
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI
FAKULTAS KEGURUAN
DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
JEMBER
2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Perilaku adalah aktivitas suatu
organisme akibat adanya suatu stimulus. Dalam mengamati perilaku, kita
cenderung untuk menempatkan diri pada organisme yang kita amati, yakni dengan
menganggap bahwa organisme tadi melihat dan merasakan seperti kita. Ini adalah
antropomorfisme (Y: anthropos = manusia), yaitu interpretasi perilaku organisme
lain seperti perilaku manusia. Semakin kita merasa mengenal suatu organisme, semakin
kita menafsirkan perilaku tersebut secara antropomorfik.
Seringkali suatu perilaku hewan
terjadi karena pengaruh genetis (perilaku bawaan lahir atau innate behavior),
dan karena akibat proses belajar atau pengalaman yang dapat disebabkan oleh
lingkungan. Pada perkembangan ekologi perilaku terjadi perdebatan antara
pendapat yang menyatakan bahwa perilaku yang terdapat pada suatu organisme
merupakan pengaruh alami atau karena akibat hasil asuhan atau
pemeliharaan, hal ini merupakan perdebatan yang terus berlangsung. Dari
berbagai hasil kajian, diketahui bahwa terjadinya suatu perilaku disebabkan
oleh keduanya, yaitu genetis dan lingkungan (proses belajar), sehingga terjadi
suatu perkembangan sifat.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1
Apakah yang dimaksud dengan perilaku
sosial?
1.2.2
Apakah yang dimaksud dengan perilaku
agonistik?
1.2.3
Apakah yang dimaksud dengan perilaku
teritori?
1.2.4
Apakah yang dimaksud dengan perilaku
alruistik?
1.3 Tujuan
1.3.1
Untuk mengetahui perilaku sosial
1.3.2
Untuk mengetahui perilaku agonistik
1.3.3
Untuk mengetahui perilaku teritori
1.3.4
Untuk mengetahui perilaku alruistik
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Social
Behavior (Tingkah Laku Sosial)
Setiap organisme memiliki kemampuan
untuk hidup, tumbuh, dan berkembang biak pada habitat yang sesuai dengannya.
Salah satu cara untuk mempertahankan hidupnya adalah dengan
mempertahankan perilaku keseharian pada saat musim berbiak. Faktor yang sangat
menentukan perilaku ini di antaranya habitat tempat tinggalnya meliputi
keamanan dan ketersediaan sumber daya hayati yang dapat mendukung kelestariannya
terutama pada saat berbiak, di mana organisme membutuhkan keamanan dan
ketersediaan makanan lebih baik dibandingkan pada saat tidak memasuki musim
berbiak. Perilaku harian organisme merupakan faktor yang berasal dari hewan itu
sendiri. Setiap hewan memiliki karakter perilaku harian yang berbeda sesuai
anatomi dan morfologi tubuh yang dimilikinya (Jumilawatyi, 2001).
Perilaku merupakan tindakan atau
suatu tingkah laku yang dipengaruhi oleh otot ataupun kelenjar yang berada
dibawah kontrol sistem syaraf,dan komunikasi sel dari sel otak menuju system
syaraf serta merupakan bentuk respon atau tindakan yang dipengaruhi oleh suatu
lingkungan. Apabila disimpulkan, perilaku merupakan sejumlah respon makhluk
hidup terhadap rangsangan internal ataupun eksternal lingkungan (Kikkawa,
1974).
2.2 Tingkah
Laku Agonistik
Agonistik (dari bahasa Yunani, yang
berarti "juara") didefinisikan sebagai perilaku hewan yang dipamerkan
selama, kontes pertempuran, serangan, melarikan diri, atau keberadaan
diantara dua hewan. Istilah ini sering digunakan untuk menggambarkan
perilaku Betta splenden, perilaku yang ditunjukkan oleh hewan jantan
saat mereka bersaing untuk kawin, peluang dengan betina (Sheenan, 2010).
Perilaku
agonistik adalah perilaku yang berhubungan dengan konflik, termasuk berkelahi (fighting),
melarikan diri (escaping), dan diam (freezing) (Lehner, 1996).
Perilaku agonistik meliputi pula beragam ancaman atau perkelahian yang terjadi
antar individu dalam suatu populasi (Campbell et al, 2003). Perilaku agonistik
berkaitan erat dengan agresivitas, yaitu kecenderungan untuk melakukan serangan
atau perkelahian (Scott, 1969). Bentuk-bentuk perilaku tersebut dapat berupa
postur tubuh maupun gerakan yang diperlihatkan oleh individu pemenang maupun
individu yang kalah dalam kontes perkelahian. Invidu yang aggressive dan
mampu menguasai arena perkelahian (teritori) akan memunculkan individu yang
kuat (dominan) dan lemah (submissive/ subordinat) (Kikkawa & Thorne,
1974).
Perilaku agonistik merupakan salah
satu bentuk konflik yang menunjukkan perilaku atau postur tubuh atau penampilan
yang khas (display) yang melibatkan mengancam (threat),
perkelahian (fighting), melarikan diri (escaping), dan diam (freezing)
antarindividu dalam populasi atau antarpopulasi. Invidu yang aggressive dan
mampu menguasai arena perkelahian (teritori) akan memunculkan individu yang
kuat (dominan) dan lemah (submissive/ subordinat). Untuk
mengetahui perilaku agonistik ini digunakanlah ikan cupang adu sebagai hewan
uji. Cupang adu (Betta splendens) merupakan jenis ikan laga; individu jantan
dapat sangat agresiv terhadap jantan lainnya dalam sebuah arena bertarung.
Dengan adanya akuarium sebagai media bertarung, maka diharapkan dapat dengan
mudah diamati perilaku agonistik diantara ikan cupang jantan.
Ikan cupang adu (Betta spendens)
merupakan anggota dari famili Anabantidae. Anabantidae merupakan satu-satunya
famili yang mencakup seluruh ikan berlabirin. Betta splendens memiliki
tubuh yang lonjong dengan bagian depan sedikit membulat dan memipih pada bagian
belakang. Mulutnya dapat disembulkan dengan lubang mulut terletak serong pada
bagian depan kepala. Badan dan kepala bersisik kasar. Ikan betina berwarna
kusam, tetapi ikan jantan mempunyai warna metalik yang mengkilat. Ikan cupang
jantan maupun betina memiliki sisik gurat sisi berjumlah 29-33 keping
(Djuhanda, 1981).
Taksonomi ikan cupang adu (Betta
spendens) adalah sebagai berikut :
Sirip dorsal terletak lebih ke
belakang, memiliki jari-jari keras dan 8-9 jari-jari lunak. Sirip anal panjang
dan lebar, dimulai dari belakang anus dan berakhir di belakang dekat pangkal
sirip kaudal, memiliki 1-4 jari-jari keras dan 21-24 jari-jari lunak. Ujung
sirip anal berbentuk lancip. Sirip perut berukuran kecil, terletak di bawah
sirip dada, memiliki 1 jari-jari keras dan 5 jari-jari lunak. Satu dari
jari-jari lunak berukuran lebih panjang dari yang lainnya. Sirip dada bentuknya
membulat, memiliki 12-13 jari-jari lunak (Djuhanda, 1981). Gambar morfologi
dari ikan cupang adu adalah sebagai berikut:
Baik secara instinktif maupun
perilaku terlatih, B. splendens memiliki karakteristik respons agresiv.
Dalam suhu air kira-kira antara 24-29oC, ikan cupang secara normal
merupakan ikan yang berperikau sangat aktif. Beberapa perilku agonistic cupang
yang diketahui antara lain :
- Approach
(Ap) : mendekat, berenang cepat kemudian berhenti di
dekat bayangannya/ikan lain
- Bite :
menggigit lawan
- Chase
(Ch) : mengejar lawan yang melarikan diri
- Frontal
threat (FT) : mengancam dari depan dengan membuka operculum,
dagu direndahkan dan melebarkan sirip dada saat berhadapan dengan lawan
- Side
Threat (ST) : mengancam dari pinggir dengan membuka
operculum, dagu direndahkan kea rah lawan dan semua sirip dikembangkan
- Mouth to
mouth contact (MC) : Kontak mulut ke mulut yaitu
dua individu akan saling mendorong, menarik, dan mencengkram dengan mulut
- Flight
(Fl) : melarikan diri
- Tail
flagging (TF) : mengibaskan ekor
- Circle
(Cl) : bergerak memutar arah setelah mendekati lawan
- Explore
(Ex) : menjelajah area tanpa arah yang jelas
Invidu yang aggressive dan mampu menguasai arena
perkelahian (teritori) akan memunculkan individu yang kuat (dominan) dan lemah
(submissive/ subordinat). Populasi untuk mengetahui perilaku agonistik ini digunakanlah
ikan cupang adu sebagai hewan uji. Cupang adu (Betta splendens)
merupakan jenis ikan laga; individu jantan dapat sangat agresif terhadap jantan
lainnya dalam sebuah arena bertarung. Dengan adanya akuarium sebagai media
bertarung, maka diharapkan dapat dengan mudah diamati perilaku agonistik
diantara ikan cupang jantan perkelahian (Kikkawa,
1974).
Ikan Betta splendens merupakan ikan yang
memiliki banyak bentuk (Polimorphisme), seperti ekor bertipe mahkota crown
tail, ekor penuh full tail dan bertipe slayer, dengan sirip panjang dan
berwarna-warni. Keindahan bentuk sirip dan warna sangat menentukan nilai
estetika dan nilai komersial ikan cupang Betta splendens Menurut
Kottelat (1996) mengatakan bahwa penampakan warna pada jenis ikan dipengaruhi
oleh beberapa faktor yaitu jenis kelamin, kematangan gonad, genetik dan faktor
geografi. Ikan hias Betta splendens disebut juga ikan laga fighting fish
atau ikan cupang. Ikan jantan memiliki warna mencolok, sirip panjang dan ukuran
tubuh lebih kecil dibanding betinanya. Ikan Betta splendens jantan
memiliki nilai komersial tinggi sehingga sangat disukai dan diburu oleh pecinta
ikan hias. Salah satu kendala budidayanya adalah untuk mendapatkan ikan jantan
cenderung lebih sukar, karena jumlah benih jantan yang diperoleh setiap
pemijahan sangat rendah dan kualitasnya tidak sesuai dengan yang diinginkan.
Agar produksi benih ikan sesuai dengan kuantitas dan kualitas yang diharapkan,
diperlukan informasi dan data tentang aspek biologi reproduksi ikan. Betta
splendens atau yang lebih dikenal dengan nama ikan cupang. Ikan
jantan sangat agresif dan memiliki kebiasaan saling menyerang
apabila ditempatkan dalam satu wadah (Ostrow, 1989).
Baik secara instinktif maupun
perilaku terlatih, ikan cupang (Betta splendens) memiliki karakteristik
respon agresif. Dalam suhu air kira-kira antara 24-29oC, ikan cupang
secara normal merupakan ikan yang berperikau sangat aktif. Terdapat sepuluh
perilaku agonistik yang dapat dideskripsikan, yaitu menjelajah (explore),
mendekati (approach), bergerak memutar (circle), mengancam dari
samping (side threat), mengancam dari depan (frontal threat),
mengibaskan ekor (tail flagging), mengejar (chase), kontak mulut
(mouth-to mouth contact), menggigit (bite), dan melarikan diri (flight)
(Campbell et al., 2003 dan Lehner, 1996).
Betta
splendens jantan berjuang untuk mengklaim wilayah, atau untuk
melindungi telur mereka atau keturunan dari pesaing jantan lain. Tapi
pertempuran fisik selalu didahului oleh tampilan kadang-kadang disebut
"flaring". Ketika dirangsang oleh penampilan ikan jantan saingan, seekor
Betta splendens jantan akan menunjukkan beberapa jenis secara genetis
ditentukan agresif gerakan (pola aksi tetap). Ikan akan mengibaskan sirip nya,
bergidik tubuhnya, memperpanjang gill opercula dan membran, dan umumnya akan
tampil jauh lebih besar dari ukuran biasanya. Betta splendens tidak
mengenali diri mereka dalam cermin, dan akan menunjukan perilaku agresif,
mengira refleksi mereka sebagai ikan jantan yang lain (Sheenan, 2010).
Ikan cupang
jantan, memiliki sifat daya perhatiannya terhadap ikan cupang betina cukup
tinggi. Sinyal yang ditimbulkan saat ikan cupang jantan berhadapan dengan ikan
cupang betina, yaitu dengan mengibaskan ekor sirip dengan frekuensi yang cepat
(McGregor et al., 2001 ). Keagresifan lain pada ikan cupang ini,
dipisahkan menjadi appetitive, kawin dan pasca kawin (Klein, Figler and Peek,
1976). Komponen yang appetitive ini, ditandai dengan perilaku kejenuhan warna
tubuh, ereksi penutup overculum, atau insang, orientasi dan gerakan
karakteristik (Simpson, 1968). Komponen termasuk menggigit, mengunci rahang
antara lawan dan mencolok ekor. Respon yang ditunjukan oleh ikan cupang dari
tiap individu, yang berkaitan dengan pembuahan, dapat kita amati dengan uji
menggunakan model subjek dalam aquarium yang diberi sekat cermin. Dengan
memperhitungkan durasi, dan frekuensi demonstrasi merupakan presiktor dan
perkelahian yang nyata (McGregor et al., 2001 ).
2.3 Teritori
2.4 Perilaku
Altruisme
Perilaku
merupakan bentuk strategi adaptasi bagi keberlangsungan hidup hewan yang
meliputi semua gerakan motorik dan semua sensasi yang dialami oleh hewan
sebagai respon atas perubahan internal milieu dan lingkungan eksternal (fisik,
biotis, sosial). Terdapat beragam jenis perilaku pada hewan. Salah satu bentuk
perilaku yang menarik untuk dipelajari adalah perilaku altruisme.
Altruisme
merupakan bentuk perilaku yang mengurangi fitness suatu individu sebagai
upaya meningkatkan fitness individu lain (Campbell dkk., 2006). Secara
umum, perilaku ini dapat berupa suatu tindakan yang justru membahayakan nyawa
suatu individu demi menyelamatkan kehidupan individu lain, baik berupa
keturunannya, maupun satu koloni yang hidup dengannya.
Altruisme Penguin Emperor (Aptenodytes Fosteri)
Penguin
emperor (A. fosteri) merupakan salah satu jenis anggota kelas aves yang
tidak dapat terbang. Berikut adalah susunan klasifikasi spesies ini.
Kerajaan
: Animalia
Filum
:
Chordata
Kelas
:
Aves
Infrakelas
: Neognathae
Ordo
:
Sphenisciformes
Famili
:
Spheniscidae
Genus
: Aptenodytes
Spesies
: A.
forsteri
(Dewey, 1999)
Penguin emperor
hidup di wilayah perairan dingin Antartika (penghuni asli Antartika secara
biogeografi). Habitat terestrialnya terbatas di atas lempeng es, landas
kontinen dan pulau-pulau sekitar Antartika di 66-78 derajat lintang selatan
(Williams, 1995).
Penguin emperor
terbiasa berburu makanan di perairan Antartika yang mana masing-masing individu
bisa ditemukan berburu hingga mencapai 65 derajat lintang selatan. Spesies ini
bertelur secara khusus pada wilayah pesisir hingga 18 km dari garis pantai.
Hanya terdapat 2 (dua) koloni kecil yang diketahui melakukan proses tersebut di
daratan yang jauh dari pantai. Proses bertelur dan mengerami telur biasa
dilakukan di daerah terlindung dimana tebing atau bongkahan es melindungi
wilayah tersebut dari angin kencang (Williams, 1995).
Spesies ini
bersifat monogami sepanjang suatu masa kawin. Meskipun, sebagian besar individu
memiliki pasangan baru di setiap tahun (musim kawin). Sebuah penelitian
menunjukkan bahwa hanya 14.6% pasangan terbentuk kembali di musim kawin
selanjutnya. Di tahun ketiga, hanya 4.9% pasangan yang bertahan (Williams,
1995).
Film yang
digunakan oleh kelompok kami didapatkan dari data film milik Harun Yahya yang
berjudul “Altruism in Penguins”. Dalam film ini, kita dapat melihat suatu
bentuk altruisme dalam hal parental care sebagai upaya meningkatkan fitness
dari offspring (Clutton-Brock dan Gzodfray, 1991). Spesies yang istimewa ini
melakukan perjalanan lebih dari 100 km menuju sarang koloni untuk kawin sekitar
bulan Maret hingga awal April (musim gugur). Pada bulan Mei hingga Juni awal,
terjadi masa bertelur dimana telur berukuran 460-470 gram dikeluarkan oleh
induk betina dan diserahkan pada induk jantan untuk dierami (l.k. 64 hari).
Induk betina kembali ke laut untuk mencai makanan hingga masa mengerami selesai.
Selama masa itu, induk jantan sama sekali tidak memakan apapun (Williams,
1995).
Semua telur
diletakkan dan ditetaskan dalam koloni yang sangat kompak. Wilayah penetasan
biasanya merupakan wilayah berangin besar dan membekukan (>100 km/jam).
Selain itu, telur dierami selama waktu musim dingin dimana temperatur
lingkungan jatuh hingga -50oC. karena itu, semua induk jantan harus
berkumpul dalam koloni besar membentuk gerombolan padat sehingga telur tetap
dapat terjaga temperaturnya. Jika telur sampai terpapar apalagi ditetaskan pada
suhu dingin, kematian cepat dapat terjadi pada anakan (Williams, 1995).
Segera
setelah musim semi tiba, telur penguin menetas. Selama proses penyesuaian, bayi
penguin masih diletakkan di bawah kantung perut, di antara kaki induk jantan
selama 45-50 hari. Hal ini dilakukan agar bayi penguin tidak secara langsung
terpapar pada suhu rendah. Dalam masa ini, induk jantan memberi makan bayinya
dengan cairan mirip susu yang dikeluarkan dari bagian dalam rongga mulut.
Pemberian makanan ini berresiko karena induk jantan sendiri pun masih belum
melakukan aktivitas makan setelah kurang lebih 4 (empat) bulan.
Di masa ini,
induk betina kembali dari laut dan menggantikan peran induk jantan untuk
menjaga bayi penguin. Induk jantan kemudian perangkat ke laut untuk berburu,
makan dan menyimpan cadangan makanan. Setelah dirasa cukup, induk jantan
kembali ke lokasi breeding untuk merawat bayi penguin bersama induk betina.
Bayi penguin
biasanya tumbuh cepat dan dapat melampaui 50% berat penguin dewasa. Dengan
ukuran yang cukup besar (usia l.k. 150 hari) dan kondisi tubuh yang sudah
teradaptasi dengan lingkungannya, bayi penguin dapat memulai perjalanan bersama
induk jantan. Sebagian besar penguin akan kembali ke lokasi kawin setelah
berusia 4 (empat) tahun. Meskipun begitu, usia kawin pertama biasanya berkisar
antara 5-6 tahun pada jantan dan 5 tahun pada betina (Williams, 1995).
Terdapat
latar belakang altruisme dalam konteks evolusi. Disini, kita mengenal adanya Selfish
genes and Altruistic individuals (Sabini, 1995). Selfish genes cenderung
menghasilkan sifat-sifat seperti kompetisi, dominansi dan hirarki dalam suatu
koloni. Altruisme justru mengarahkan suatu spesies untuk melakukan pengorbanan
meskipun dapat membahayakan nyawa sendiri. Dalam contoh ini adalah induk jantan
A. forsteri yang berpuasa selama 4 bulan dan masih memberi makan anaknya
dengan cadangan makanan yang ia miliki.
Selain itu,
altruisme dapat bertahan jika sifat ini (yang cenderung mengorbankan suatu
individu) mampu memberi manfaat yang lebih besar pada kelangsungan jenis. Jika
dilihat, terdapat kemungkinan individu yang melakukan perilaku altruisme
mengalami kematian dan tidak menurunkan gen tersebut kepada keturunannya karena
tidak lolos seleksi alam. Namun, nampaknya gen altruisme lebih dipengaruhi oleh
seleksi alam yang terjadi pada skala gen, bukan organisme sehingga menghasilkan
inclusive fitness (Hamilton, 1964 dalam Sabini, 1995).
Secara umum,
bentuk altruisme pada penguin emperor berlaku pada:
- Tahap pra-fertilisasi (provisioning dan
perlindungan oleh induk betina).
- Tahap pra-tetas (provisioning oleh induk
betina, perlindungan oleh induk jantan).
- Tahap pra-dewasa atau tahap fledging (provisioning
dan perlindungan oleh kedua induk).
Aktivitas
altruisme ini dipengaruhi oleh hormon oksitosin yang merupakan suatu hormon
mamalia dan neurotransmiter yang diketahui berhubungan dengan perilaku maternal
dan ikatan, juga modulasi kepercayaan sosial. Secara metabolis yang langsung
berhubungan dengan proses puasa induk jantan, diketahui bahwa mekanisme puasa
dipertahankan dengan cara mengurangi tingkat metabolisme, menguragi pemanfaatan
protein dan pemakaian cadangan lemak.
Berdasarkan
pemaparan tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa altruisme pada Aptenodytes
forsteri berlaku sebagai bentuk parental care dan merupakan perilaku yang
alami dan inheren. Perilaku ini memiliki latar belakang evolusi berupa
pewarisan gen altruisme yang dipertahankan melalui seleksi pada tingkat gen
karena meskipun altruisme cenderung merugikan dan membahayakan nyawa suatu
individu, altruisme memberikan manfaat yang lebih besar pada kelestarian jenis
ini. Seperti halnya bentuk perilaku yang lain, perilaku altruisme (pada A.
forsteri) melibatkan proses fisiologis dan psikologis hewan yang
bersangkutan.
DAFTAR
PUSTAKA
Afandi, R. & Tang, U.M. 2000. Biologi
Reproduksi Ikan. Laporan. Pekanbaru: Pusat Penelitian Kawasan Pantai dan
Perairan
Campbell, N. A., Reece J.B, Mitchell LG.dkk. 2003. Biologi
.Jilid 2. Erlangga. Jakarta.
Campbell,
Neil, Jane B. Reece dan Lawrence G. Mitchell. 2004. Biologi. Jakarta:
Penerbit Erlangga.
Clutton-Brock,
Tim dan Charles Godfray. 1991. “Parental Investment” dalam Behavioral
Ecology: An Evolutionary Approach. Oxford: Blackwell Scientific Publications.
Dewey,
Tanya. 1999. “Aptenodytes forsteri” (On-line), Animal Diversity Web. Accessed
February 18, 2010 at
http://animaldiversity.ummz.umich.edu/site/accounts/information/Aptenodytes_forsteri.html.
Djuanda, T. 2002. Dunia Ikan. Penerbit Armico.
Bandung
Efendi, M.I. 1997. Biologi Perikanan. Bogor:
Yayasan Pustaka Nusantara
Gouveia, A., Caio M. de Oliveira,
Cynthia F. R., Thiago M de Brito, Dora F.V. 2007. Effects Trophic Poisoning
With Methylmercury On The Appetitive Elements Of The Agonistic Sequence In
Fighting-Fish (Betta Splendens). Spanish Journal of Psychology. Vol 10:
436-448.
Jumilawaty, 2001. Perilaku Harian Pecuk Hitam (Phalacrocorax sulcirostis)
Saat Musim
Berbiak Di Suaka Margasatwa Pulau Rambut Jakarta. Jurnal Biologi Sumatera.
Padang Bulan, Medan. Vol. 1, No. 1. , hlm. 20 – 23
Kikkawa, J. & M. J. Thorne. 1974. The Behaviour
of Animals. John Murray (Publishers) LTD. London.
Klein, R.M.,
Figler, M.H., & Peeke, H.V.S. 1976. Modification of consummatory (attack)
behavior resulting from pior habituation of appetitive (threat) components of
the agonistic sequence in male Betta splendens (Pisces, Belontiidae). Animal
Behaviour. Vol 58: 1-25.
Kottelat, Whitten, J.A., Wirjoatmodjo, S. &
Kartikasari.1996. Freshwater Fishes of Western Indonesia and Sulawesi.
Periplus. Jakarta.
Linke, H .
1994. Eksplorasi Ikan Cupang di Kalirnantan. Trubus. No.297. Agustus. hal
86-89.
Mc Gregor P.
K., Tom M.P & Helene M.L. 2001. Fighting Fish Betta splendens
Extract Relative Information From Apparent Interactions: What Happens When What
You See Is Not What You Get. Animal Behaviour. Vol 62: 1059-1065.
Ostrow, M.E. 1989. Bettas.T.F.H.
Publications Inc. United State.
Perkasa, B.E. 2001. Budidaya
Cupang Hias dan Adu. Jakarta: Penebar Swadaya
Sabini,
John. 1995. Social Psychology. New York: Norton & Company, Inc.
Sanford, G.
1995. An Illustrated Encylopedia of Aquarium fish. Apple Press. London. hal 68.
Scott, J.P. 1969. Introduction to Animal Behaviour. In : The Behaviour
of Domestic Animals. E.S.E. Hafez (ed). The Williams & Wilkins
Co. Baltimore, USA. p 31-21.
Sheenan, F. 2010. Betta Behavior. Available at
http://www.bettatalk.com/betta_behavior.htm
Sugandy, I. 2002. Budidaya Cupang Hias.
Jakarta: Argo Media Pustaka.
Susanto, H.
& Lingga, P. 1997. Ikan Hias Air Tawar. Penebar Swadaya. Jakarta.
Williams, T.
1995. The Penguins. Oxford: Oxford University Press.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus