Jumat, 22 September 2017

TINGKAH LAKU HEWAN : SOCIAL BEHAVIOR (TINGKAH LAKU SOSIAL)

MAKALAH
TINGKAH LAKU HEWAN
“SOCIAL BEHAVIOR (TINGKAH LAKU SOSIAL)”

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Tingkah Laku Hewan






Oleh:
KELOMPOK 5
1.      Eva Rusdiana          (1202101030XX)
2.      Zakyah                     (120210103086)








PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2015
BAB I
PENDAHULUAN

1.1   Latar Belakang
Perilaku adalah aktivitas suatu organisme akibat adanya suatu stimulus. Dalam mengamati perilaku, kita cenderung untuk menempatkan diri pada organisme yang kita amati, yakni dengan menganggap bahwa organisme tadi melihat dan merasakan seperti kita. Ini adalah antropomorfisme (Y: anthropos = manusia), yaitu interpretasi perilaku organisme lain seperti perilaku manusia. Semakin kita merasa mengenal suatu organisme, semakin kita menafsirkan perilaku tersebut secara antropomorfik.
Seringkali suatu perilaku hewan terjadi karena pengaruh genetis (perilaku bawaan lahir atau innate behavior), dan karena akibat proses belajar atau pengalaman yang dapat disebabkan oleh lingkungan. Pada perkembangan ekologi perilaku terjadi perdebatan antara pendapat yang menyatakan bahwa perilaku yang terdapat pada suatu organisme merupakan pengaruh alami atau karena akibat hasil asuhan  atau pemeliharaan, hal ini merupakan perdebatan yang terus berlangsung. Dari berbagai hasil kajian, diketahui bahwa terjadinya suatu perilaku disebabkan oleh keduanya, yaitu genetis dan lingkungan (proses belajar), sehingga terjadi suatu perkembangan sifat.

1.2   Rumusan Masalah
1.2.1        Apakah yang dimaksud dengan perilaku sosial?
1.2.2        Apakah yang dimaksud dengan perilaku agonistik?
1.2.3        Apakah yang dimaksud dengan perilaku teritori?
1.2.4        Apakah yang dimaksud dengan perilaku alruistik?

1.3   Tujuan
1.3.1        Untuk mengetahui perilaku sosial
1.3.2        Untuk mengetahui perilaku agonistik
1.3.3        Untuk mengetahui perilaku teritori
1.3.4        Untuk mengetahui perilaku alruistik
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Social Behavior (Tingkah Laku Sosial)
Setiap organisme memiliki kemampuan untuk hidup, tumbuh, dan berkembang biak pada habitat yang sesuai dengannya. Salah satu cara untuk  mempertahankan hidupnya adalah dengan mempertahankan perilaku keseharian pada saat musim berbiak. Faktor yang sangat menentukan perilaku ini di antaranya habitat tempat tinggalnya meliputi keamanan dan ketersediaan sumber daya hayati yang dapat mendukung kelestariannya terutama pada saat berbiak, di mana organisme membutuhkan keamanan dan ketersediaan makanan lebih baik dibandingkan pada saat tidak memasuki musim berbiak. Perilaku harian organisme merupakan faktor yang berasal dari hewan itu sendiri. Setiap hewan memiliki karakter perilaku harian yang berbeda sesuai anatomi dan morfologi tubuh yang dimilikinya (Jumilawatyi, 2001).
Perilaku merupakan tindakan atau suatu tingkah laku yang dipengaruhi oleh otot ataupun kelenjar yang berada dibawah kontrol sistem syaraf,dan komunikasi sel dari sel otak menuju system syaraf serta merupakan bentuk respon atau tindakan yang dipengaruhi oleh suatu lingkungan. Apabila disimpulkan, perilaku merupakan sejumlah respon makhluk hidup terhadap rangsangan internal ataupun eksternal lingkungan (Kikkawa, 1974).

2.2 Tingkah Laku Agonistik

Agonistik (dari bahasa Yunani, yang berarti "juara") didefinisikan sebagai perilaku hewan yang dipamerkan selama, kontes pertempuran, serangan, melarikan diri, atau keberadaan  diantara dua hewan. Istilah ini sering digunakan untuk menggambarkan perilaku Betta splenden, perilaku yang ditunjukkan oleh hewan jantan saat mereka bersaing untuk kawin, peluang dengan betina (Sheenan, 2010).

Perilaku agonistik adalah perilaku yang berhubungan dengan konflik, termasuk berkelahi (fighting), melarikan diri (escaping), dan diam (freezing) (Lehner, 1996). Perilaku agonistik meliputi pula beragam ancaman atau perkelahian yang terjadi antar individu dalam suatu populasi (Campbell et al, 2003). Perilaku agonistik berkaitan erat dengan agresivitas, yaitu kecenderungan untuk melakukan serangan atau perkelahian (Scott, 1969). Bentuk-bentuk perilaku tersebut dapat berupa postur tubuh maupun gerakan yang diperlihatkan oleh individu pemenang maupun individu yang kalah dalam kontes perkelahian. Invidu yang aggressive dan mampu menguasai arena perkelahian (teritori) akan memunculkan individu yang kuat (dominan) dan lemah (submissive/ subordinat) (Kikkawa & Thorne, 1974).

Perilaku agonistik merupakan salah satu bentuk konflik yang menunjukkan perilaku atau postur tubuh atau penampilan yang khas (display) yang melibatkan mengancam (threat), perkelahian (fighting), melarikan diri (escaping), dan diam (freezing) antarindividu dalam populasi atau antarpopulasi. Invidu yang aggressive dan mampu menguasai arena perkelahian (teritori) akan memunculkan individu yang kuat (dominan) dan lemah (submissive/ subordinat). Untuk mengetahui perilaku agonistik ini digunakanlah ikan cupang adu sebagai hewan uji. Cupang adu (Betta splendens) merupakan jenis ikan laga; individu jantan dapat sangat agresiv terhadap jantan lainnya dalam sebuah arena bertarung. Dengan adanya akuarium sebagai media bertarung, maka diharapkan dapat dengan mudah diamati perilaku agonistik diantara ikan cupang jantan.

Ikan cupang adu (Betta spendens) merupakan anggota dari famili Anabantidae. Anabantidae merupakan satu-satunya famili yang mencakup seluruh ikan berlabirin.  Betta splendens memiliki tubuh yang lonjong dengan bagian depan sedikit membulat dan memipih pada bagian belakang. Mulutnya dapat disembulkan dengan lubang mulut terletak serong pada bagian depan kepala. Badan dan kepala bersisik kasar. Ikan betina berwarna kusam, tetapi ikan jantan mempunyai warna metalik yang mengkilat. Ikan cupang jantan maupun betina memiliki sisik gurat sisi berjumlah 29-33 keping (Djuhanda, 1981).

Taksonomi ikan cupang adu (Betta spendens) adalah sebagai berikut :
Sirip dorsal terletak lebih ke belakang, memiliki jari-jari keras dan 8-9 jari-jari lunak. Sirip anal panjang dan lebar, dimulai dari belakang anus dan berakhir di belakang dekat pangkal sirip kaudal, memiliki 1-4 jari-jari keras dan 21-24 jari-jari lunak. Ujung sirip anal berbentuk lancip. Sirip perut berukuran kecil, terletak di bawah sirip dada, memiliki 1 jari-jari keras dan 5 jari-jari lunak. Satu dari jari-jari lunak berukuran lebih panjang dari yang lainnya. Sirip dada bentuknya membulat, memiliki 12-13 jari-jari lunak (Djuhanda, 1981). Gambar morfologi dari ikan cupang adu adalah sebagai berikut:
Baik secara instinktif maupun perilaku terlatih, B. splendens memiliki karakteristik respons agresiv. Dalam suhu air kira-kira antara 24-29oC, ikan cupang secara normal merupakan ikan yang berperikau sangat aktif. Beberapa perilku agonistic cupang yang diketahui antara lain :
  • Approach (Ap) : mendekat, berenang cepat kemudian berhenti di dekat bayangannya/ikan lain
  • Bite : menggigit lawan
  • Chase (Ch) : mengejar lawan yang melarikan diri
  • Frontal threat (FT) : mengancam dari depan dengan membuka operculum, dagu direndahkan dan melebarkan sirip dada saat berhadapan dengan lawan
  • Side Threat (ST) : mengancam dari pinggir dengan membuka operculum, dagu direndahkan kea rah lawan dan semua sirip dikembangkan
  • Mouth to mouth contact (MC) : Kontak mulut ke mulut yaitu dua individu akan saling mendorong, menarik, dan mencengkram dengan mulut
  • Flight (Fl) : melarikan diri
  • Tail flagging (TF) : mengibaskan ekor
  • Circle (Cl) : bergerak memutar arah setelah mendekati lawan
  • Explore (Ex) : menjelajah area tanpa arah yang jelas

Invidu yang aggressive dan mampu menguasai arena perkelahian (teritori) akan memunculkan individu yang kuat (dominan) dan lemah (submissive/ subordinat). Populasi untuk mengetahui perilaku agonistik ini digunakanlah ikan cupang adu sebagai hewan uji. Cupang adu (Betta splendens) merupakan jenis ikan laga; individu jantan dapat sangat agresif terhadap jantan lainnya dalam sebuah arena bertarung. Dengan adanya akuarium sebagai media bertarung, maka diharapkan dapat dengan mudah diamati perilaku agonistik diantara ikan cupang jantan perkelahian (Kikkawa, 1974).       
Ikan Betta splendens merupakan ikan yang memiliki banyak bentuk (Polimorphisme), seperti ekor bertipe mahkota crown tail, ekor penuh full tail dan bertipe slayer, dengan sirip panjang dan berwarna-warni. Keindahan bentuk sirip dan warna sangat menentukan nilai estetika dan nilai komersial ikan cupang Betta splendens Menurut Kottelat (1996) mengatakan bahwa penampakan warna pada jenis ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu jenis kelamin, kematangan gonad, genetik dan faktor geografi. Ikan hias Betta splendens disebut juga ikan laga fighting fish atau ikan cupang. Ikan jantan memiliki warna mencolok, sirip panjang dan ukuran tubuh lebih kecil dibanding betinanya. Ikan Betta splendens jantan memiliki nilai komersial tinggi sehingga sangat disukai dan diburu oleh pecinta ikan hias. Salah satu kendala budidayanya adalah untuk mendapatkan ikan jantan cenderung lebih sukar, karena jumlah benih jantan yang diperoleh setiap pemijahan sangat rendah dan kualitasnya tidak sesuai dengan yang diinginkan. Agar produksi benih ikan sesuai dengan kuantitas dan kualitas yang diharapkan, diperlukan informasi dan data tentang aspek biologi reproduksi ikan. Betta splendens atau yang lebih dikenal dengan  nama  ikan cupang. Ikan jantan sangat agresif dan memiliki kebiasaan  saling  menyerang  apabila ditempatkan  dalam satu wadah (Ostrow, 1989).
Baik secara instinktif maupun perilaku terlatih, ikan cupang (Betta splendens) memiliki karakteristik respon agresif. Dalam suhu air kira-kira antara 24-29oC, ikan cupang secara normal merupakan ikan yang berperikau sangat aktif. Terdapat sepuluh perilaku agonistik yang dapat dideskripsikan, yaitu menjelajah (explore), mendekati (approach), bergerak memutar (circle), mengancam dari samping (side threat), mengancam dari depan (frontal threat), mengibaskan ekor (tail flagging), mengejar (chase), kontak mulut (mouth-to mouth contact), menggigit (bite), dan melarikan diri (flight) (Campbell et al., 2003 dan Lehner, 1996).
Betta splendens jantan berjuang untuk mengklaim wilayah, atau untuk melindungi telur mereka atau keturunan dari pesaing jantan lain. Tapi pertempuran fisik selalu didahului oleh tampilan kadang-kadang disebut "flaring". Ketika dirangsang oleh penampilan ikan jantan saingan, seekor Betta splendens jantan akan menunjukkan beberapa jenis secara genetis ditentukan agresif gerakan (pola aksi tetap). Ikan akan mengibaskan sirip nya, bergidik tubuhnya, memperpanjang gill opercula dan membran, dan umumnya akan tampil jauh lebih besar dari ukuran biasanya. Betta splendens tidak mengenali diri mereka dalam cermin, dan akan menunjukan perilaku agresif, mengira refleksi mereka sebagai ikan jantan yang lain (Sheenan, 2010).
Ikan cupang jantan, memiliki sifat daya perhatiannya terhadap ikan cupang betina cukup tinggi. Sinyal yang ditimbulkan saat ikan cupang jantan berhadapan dengan ikan cupang betina, yaitu dengan mengibaskan ekor sirip dengan frekuensi yang cepat (McGregor et al., 2001 ). Keagresifan lain pada ikan cupang ini, dipisahkan menjadi appetitive, kawin dan pasca kawin (Klein, Figler and Peek, 1976). Komponen yang appetitive ini, ditandai dengan perilaku kejenuhan warna tubuh, ereksi penutup overculum, atau insang, orientasi dan gerakan karakteristik (Simpson, 1968). Komponen termasuk menggigit, mengunci rahang antara lawan dan mencolok ekor. Respon yang ditunjukan oleh ikan cupang dari tiap individu, yang berkaitan dengan pembuahan, dapat kita amati dengan uji menggunakan model subjek dalam aquarium yang diberi sekat cermin. Dengan memperhitungkan durasi, dan frekuensi demonstrasi merupakan presiktor dan perkelahian yang nyata (McGregor et al., 2001 ).

2.3 Teritori
2.4 Perilaku Altruisme
Perilaku merupakan bentuk strategi adaptasi bagi keberlangsungan hidup hewan yang meliputi semua gerakan motorik dan semua sensasi yang dialami oleh hewan sebagai respon atas perubahan internal milieu dan lingkungan eksternal (fisik, biotis, sosial). Terdapat beragam jenis perilaku pada hewan. Salah satu bentuk perilaku yang menarik untuk dipelajari adalah perilaku altruisme.
Altruisme merupakan bentuk perilaku yang mengurangi fitness suatu individu sebagai upaya meningkatkan fitness individu lain (Campbell dkk., 2006). Secara umum, perilaku ini dapat berupa suatu tindakan yang justru membahayakan nyawa suatu individu demi menyelamatkan kehidupan individu lain, baik berupa keturunannya, maupun satu koloni yang hidup dengannya.
Altruisme Penguin Emperor (Aptenodytes Fosteri)
Penguin emperor (A. fosteri) merupakan salah satu jenis anggota kelas aves yang tidak dapat terbang. Berikut adalah susunan klasifikasi spesies ini.
Kerajaan                            :    Animalia
Filum                                 :    Chordata
Kelas                                 :    Aves
Infrakelas                          :    Neognathae
Ordo                                 :    Sphenisciformes
Famili                                :    Spheniscidae
Genus                               :    Aptenodytes
Spesies                              :    A. forsteri
(Dewey, 1999)
Penguin emperor hidup di wilayah perairan dingin Antartika (penghuni asli Antartika secara biogeografi). Habitat terestrialnya terbatas di atas lempeng es, landas kontinen dan pulau-pulau sekitar Antartika di 66-78 derajat lintang selatan (Williams, 1995).
Penguin emperor terbiasa berburu makanan di perairan Antartika yang mana masing-masing individu bisa ditemukan berburu hingga mencapai 65 derajat lintang selatan. Spesies ini bertelur secara khusus pada wilayah pesisir hingga 18 km dari garis pantai. Hanya terdapat 2 (dua) koloni kecil yang diketahui melakukan proses tersebut di daratan yang jauh dari pantai. Proses bertelur dan mengerami telur biasa dilakukan di daerah terlindung dimana tebing atau bongkahan es melindungi wilayah tersebut dari angin kencang (Williams, 1995).
Spesies ini bersifat monogami sepanjang suatu masa kawin. Meskipun, sebagian besar individu memiliki pasangan baru di setiap tahun (musim kawin). Sebuah penelitian menunjukkan bahwa hanya 14.6% pasangan terbentuk kembali di musim kawin selanjutnya. Di tahun ketiga, hanya 4.9% pasangan yang bertahan (Williams, 1995).
Film yang digunakan oleh kelompok kami didapatkan dari data film milik Harun Yahya yang berjudul “Altruism in Penguins”. Dalam film ini, kita dapat melihat suatu bentuk altruisme dalam hal parental care sebagai upaya meningkatkan fitness dari offspring (Clutton-Brock dan Gzodfray, 1991). Spesies yang istimewa ini melakukan perjalanan lebih dari 100 km menuju sarang koloni untuk kawin sekitar bulan Maret hingga awal April (musim gugur). Pada bulan Mei hingga Juni awal, terjadi masa bertelur dimana telur berukuran 460-470 gram dikeluarkan oleh induk betina dan diserahkan pada induk jantan untuk dierami (l.k. 64 hari). Induk betina kembali ke laut untuk mencai makanan hingga masa mengerami selesai. Selama masa itu, induk jantan sama sekali tidak memakan apapun (Williams, 1995).
Semua telur diletakkan dan ditetaskan dalam koloni yang sangat kompak. Wilayah penetasan biasanya merupakan wilayah berangin besar dan membekukan (>100 km/jam). Selain itu, telur dierami selama waktu musim dingin dimana temperatur lingkungan jatuh hingga -50oC. karena itu, semua induk jantan harus berkumpul dalam koloni besar membentuk gerombolan padat sehingga telur tetap dapat terjaga temperaturnya. Jika telur sampai terpapar apalagi ditetaskan pada suhu dingin, kematian cepat dapat terjadi pada anakan (Williams, 1995).
Segera setelah musim semi tiba, telur penguin menetas. Selama proses penyesuaian, bayi penguin masih diletakkan di bawah kantung perut, di antara kaki induk jantan selama 45-50 hari. Hal ini dilakukan agar bayi penguin tidak secara langsung terpapar pada suhu rendah. Dalam masa ini, induk jantan memberi makan bayinya dengan cairan mirip susu yang dikeluarkan dari bagian dalam rongga mulut. Pemberian makanan ini berresiko karena induk jantan sendiri pun masih belum melakukan aktivitas makan setelah kurang lebih 4 (empat) bulan.
Di masa ini, induk betina kembali dari laut dan menggantikan peran induk jantan untuk menjaga bayi penguin. Induk jantan kemudian perangkat ke laut untuk berburu, makan dan menyimpan cadangan makanan. Setelah dirasa cukup, induk jantan kembali ke lokasi breeding untuk merawat bayi penguin bersama induk betina.
Bayi penguin biasanya tumbuh cepat dan dapat melampaui 50% berat penguin dewasa. Dengan ukuran yang cukup besar (usia l.k. 150 hari) dan kondisi tubuh yang sudah teradaptasi dengan lingkungannya, bayi penguin dapat memulai perjalanan bersama induk jantan. Sebagian besar penguin akan kembali ke lokasi kawin setelah berusia 4 (empat) tahun. Meskipun begitu, usia kawin pertama biasanya berkisar antara 5-6 tahun pada jantan dan 5 tahun pada betina (Williams, 1995).
Terdapat latar belakang altruisme dalam konteks evolusi. Disini, kita mengenal adanya Selfish genes and Altruistic individuals (Sabini, 1995). Selfish genes cenderung menghasilkan sifat-sifat seperti kompetisi, dominansi dan hirarki dalam suatu koloni. Altruisme justru mengarahkan suatu spesies untuk melakukan pengorbanan meskipun dapat membahayakan nyawa sendiri. Dalam contoh ini adalah induk jantan A. forsteri yang berpuasa selama 4 bulan dan masih memberi makan anaknya dengan cadangan makanan yang ia miliki.
Selain itu, altruisme dapat bertahan jika sifat ini (yang cenderung mengorbankan suatu individu) mampu memberi manfaat yang lebih besar pada kelangsungan jenis. Jika dilihat, terdapat kemungkinan individu yang melakukan perilaku altruisme mengalami kematian dan tidak menurunkan gen tersebut kepada keturunannya karena tidak lolos seleksi alam. Namun, nampaknya gen altruisme lebih dipengaruhi oleh seleksi alam yang terjadi pada skala gen, bukan organisme sehingga menghasilkan inclusive fitness (Hamilton, 1964 dalam Sabini, 1995).
Secara umum, bentuk altruisme pada penguin emperor berlaku pada:
  1. Tahap pra-fertilisasi (provisioning dan perlindungan oleh induk betina).
  2. Tahap pra-tetas (provisioning oleh induk betina, perlindungan oleh induk jantan).
  3. Tahap pra-dewasa atau tahap fledging (provisioning dan perlindungan oleh kedua induk).
Aktivitas altruisme ini dipengaruhi oleh hormon oksitosin yang merupakan suatu hormon mamalia dan neurotransmiter yang diketahui berhubungan dengan perilaku maternal dan ikatan, juga modulasi kepercayaan sosial. Secara metabolis yang langsung berhubungan dengan proses puasa induk jantan, diketahui bahwa mekanisme puasa dipertahankan dengan cara mengurangi tingkat metabolisme, menguragi pemanfaatan protein dan pemakaian cadangan lemak.
Berdasarkan pemaparan tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa altruisme pada Aptenodytes forsteri berlaku sebagai bentuk parental care dan merupakan perilaku yang alami dan inheren. Perilaku ini memiliki latar belakang evolusi berupa pewarisan gen altruisme yang dipertahankan melalui seleksi pada tingkat gen karena meskipun altruisme cenderung merugikan dan membahayakan nyawa suatu individu, altruisme memberikan manfaat yang lebih besar pada kelestarian jenis ini. Seperti halnya bentuk perilaku yang lain, perilaku altruisme (pada A. forsteri) melibatkan proses fisiologis dan psikologis hewan yang bersangkutan.





DAFTAR PUSTAKA


Afandi, R. & Tang, U.M. 2000. Biologi Reproduksi Ikan. Laporan. Pekanbaru: Pusat Penelitian Kawasan Pantai dan Perairan
Campbell, N. A., Reece J.B, Mitchell LG.dkk. 2003. Biologi .Jilid 2. Erlangga. Jakarta.
Campbell, Neil, Jane B. Reece dan Lawrence G. Mitchell. 2004. Biologi. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Clutton-Brock, Tim dan Charles Godfray. 1991. “Parental Investment” dalam Behavioral Ecology: An Evolutionary Approach. Oxford: Blackwell Scientific Publications.
Dewey, Tanya. 1999. “Aptenodytes forsteri” (On-line), Animal Diversity Web. Accessed February 18, 2010 at http://animaldiversity.ummz.umich.edu/site/accounts/information/Aptenodytes_forsteri.html.
Djuanda, T. 2002. Dunia Ikan. Penerbit Armico. Bandung   
Efendi, M.I. 1997. Biologi Perikanan. Bogor: Yayasan Pustaka Nusantara
Gouveia, A., Caio M. de Oliveira, Cynthia F. R., Thiago M de Brito, Dora F.V. 2007. Effects Trophic Poisoning With Methylmercury On The Appetitive Elements Of The Agonistic Sequence In Fighting-Fish (Betta Splendens). Spanish Journal of Psychology. Vol 10: 436-448.
Jumilawaty, 2001. Perilaku Harian Pecuk Hitam (Phalacrocorax sulcirostis) Saat Musim Berbiak Di Suaka Margasatwa Pulau Rambut Jakarta. Jurnal Biologi Sumatera. Padang Bulan, Medan. Vol. 1, No. 1. , hlm. 20 – 23
Kikkawa, J. & M. J. Thorne. 1974. The Behaviour of Animals. John Murray (Publishers) LTD. London.
Klein, R.M., Figler, M.H., & Peeke, H.V.S. 1976. Modification of consummatory (attack) behavior resulting from pior habituation of appetitive (threat) components of the agonistic sequence in male Betta splendens (Pisces, Belontiidae). Animal Behaviour. Vol 58: 1-25.
Kottelat, Whitten, J.A., Wirjoatmodjo, S. & Kartikasari.1996. Freshwater Fishes of Western Indonesia and Sulawesi. Periplus. Jakarta.
Linke, H . 1994. Eksplorasi Ikan Cupang di Kalirnantan. Trubus. No.297. Agustus. hal 86-89.
Mc Gregor P. K., Tom M.P & Helene M.L. 2001. Fighting Fish Betta splendens Extract Relative Information From Apparent Interactions: What Happens When What You See Is Not What You Get. Animal Behaviour. Vol 62: 1059-1065.
Ostrow, M.E. 1989. Bettas.T.F.H. Publications Inc. United State.
Perkasa, B.E. 2001. Budidaya Cupang Hias dan Adu. Jakarta: Penebar Swadaya
Sabini, John. 1995. Social Psychology. New York: Norton & Company, Inc.
Sanford, G. 1995. An Illustrated Encylopedia of Aquarium fish. Apple Press. London. hal 68.
Scott, J.P. 1969. Introduction to Animal Behaviour. In : The Behaviour of  Domestic Animals. E.S.E. Hafez (ed). The Williams & Wilkins Co. Baltimore, USA. p 31-21.
Sheenan, F. 2010. Betta Behavior. Available at http://www.bettatalk.com/betta_behavior.htm
Sugandy, I. 2002. Budidaya Cupang Hias. Jakarta: Argo Media Pustaka.
Susanto, H. & Lingga, P. 1997. Ikan Hias Air Tawar. Penebar Swadaya. Jakarta.
Williams, T. 1995. The Penguins. Oxford: Oxford University Press.


1 komentar: